Rabu, 08 Oktober 2008

Tiga tipe manusia berdasarkan aktifitasnya.

_______________________________________


ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ٭ فاطر ٣٢

Kemudian aku wariskan kitab kepada orang2 yang telah aku pilih dari hambaku, maka sebagian dari mereka orang yang aniaya pada dirinya dan sebagian dari mereka orang yang sedang dan sebagian dari mereka orang yang bercepat pada kebaikan dengan idzin Alloh. Demikian itu keuntungan yang besar.


Berdasarkan latar belakang penggerak aktifitas/pengamalannya; manusia dapat digolongkan menjadi tiga (3) tipe mental yaitu: Tipe mental Pejuang, Tipe mental Pekerja, dan Tipe mental Penjahat.

1. Tipe mental Pejuang.

Tipe mental Pejuang adalah orang yang bekerja, beraktifitas/beramal/ berjuang dengan dedikasi tinggi terbaiknya untuk tujuan menghasilkan sesu-atu yang terbaik, terbenar, dan termanfaat. Bagi seorang Pejuang ada atau tidaknya imbalan tak menjadi persoalan, yang penting ia bisa dan biasa mela-kukan yang terbaik, terbenar, teradil, teraman, termanfaat untuk kemaslahatan (kesejahteraan, kepentingan, dan keselamatan) diri dan umat seluas-luasnya.

Perjalanan waktu telah membuktikan bahwa orang-orang yang namanya harum hingga sekarang adalah para Pejuang Kebenaran. Apa sebabnya? Kare-na mereka lebih banyak memberi daripada mendapatkan; lebih banyak berkor-ban daripada mengorbankan; lebih banyak bekerja daripada berbicara; serta lebih banyak berkarya nyata daripada berkhayal nyata.

Untuk saat sekarang dan mendatang; bangsa kita umumnya dan Agama khususnya sangat memerlukan banyak Pemimpin yang terdiri dari orang-orang yang bermental dan mampu menjadi Pejuang sejati; daripada Pemimpin yang bermental sebagai Pekerja.

Salah satu ciri melekat seorang Pemimpin Pejuang adalah kepemilikan watak/karakter Perwira berjiwa Ksatria sejati yang mulia; siap setiap saat, jujur mengakui kebenaran dan tulus mengakui kesalahan dihadapan umum; sekali-pun saja tak akan pernah melakukan keculasan/pengkhianatan dengan cara cuci tangan - mencari kambing hitam/mengorbankan pihak lain/bawahannya tatkala ia terbukti berbuat kesalahan à fastabiqul khoirot !

2. Tipe mental Pekerja.

Tipe mental Pekerja adalah orang yang hanya mau melakukan sesuatu karena disuruh/diperintah atau karena mengharapkan imbalan dan keuntungan langsung. Ia akan berhenti beraktifitas apabila tidak ada lagi imbalan yang bisa didapat!. Pekerja hanyalah orang-orang yang mau bergerak apabila ada keun-tungan langsung yang bisa diperoleh, dan hanya bergerak apabila disuruh; pasif; kurang peduli, dan terkesan tak ada inisiatif sama sekali! à muqtasid !

3. Tipe mental Penjahat.

Tipe mental Penjahat adalah tipe orang yang hanya bekerja untuk keun-tungan diri dan kelompoknya (/komplotannya) sendiri. Tak menjadi soal apa-kah sikap perilaku dan tindakan yang ia lakukan dengan menghalalkan semua cara, memberatkan, menyesengsarakan, merugikan, mengorbankan orang lain yang penting dan baku; asal kepentingan diri dan kelompoknya terpenuhi à puaslah dia !. Melakukan berbagai trik culas, licik, serakah, mau menang sendiri, suka menjatuhkan martabat orang lain; adalah gaya kepiawaiannya! à dholimu li nafsihi !


Kita selaku orang iman sejati perlu dan harus berdedikasi tinggi dalam me-nempuh hidup sekali ini. Orang yang berdedikasi tinggi akan senantiasa berupaya mencari dunia dengan cara yang baik dan benar, serta akan menggunakan/me-ngeluarkannya dengan cara dan pertimbangan yang baik, benar serta demi kepen-tingan/kemaslahatan umat pula !. Salah satu caranya adalah dengan senantiasa berupaya untuk mampu berpikir, bekerja keras dan berkarya besar !.

Setiap kali ada momentum Hari Kemerdekaan, seharusnya mampu mem-bangkitkan kembali semangat juang kita; berjuang untuk melakukan perubahan lebih serius kedepan untuk kemajuan dan kebaikan masyarakat/umat dengan cara mentransformasikan (memindah-alihkan) potensi - kemampuan - keahlian kita un-tuk kemanfaatan yang seluas-luasnya, dan selalu berupaya mencari solusi cerdas beserta alternatifnya atas setiap masalah yang ada dan terjadi di lingkungannya, serta senantiasa berusaha membawa keselamatan dan kedamaian bagi lingkung-an sekitar. Dengan lain kata; ikhlas berbuat semata-mata bukan untuk mendapat-kan, tetapi berbuat ikhlas semata-mata untuk mencipta, menghasilkan, memberi, menebarkan kebaikan, kebenaran, dan kemanfaatan yang sebanyak-banyaknya serta seluas-luasnya; berupaya sedapat mungkin menjadi karya besar yang monu-mental !.

Semoga Alloh paring barokah dan manfaat !!!


_____________________________________________________________________________________

Selasa, 07 Oktober 2008

UKHUWAH MERAJUT YANG BERSERAKAN ( Oleh: Herry Mohammad Redaktur Pelaksana Majalah GATRA )


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ٭ الحجرات ١٠

Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat

(QS Al-Hujurat: 10)


يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ٭ الحجرات ١٣

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu (QS Al-Hujurat: 13)


UKHUWAH (persaudaraan). Kata ini mudah diucap, tapi, untuk mempraktekkannya tak semudah mengeluarkan kata-kata. Dalam pandangan ulama DR. Abdullah Nashih Ulwan, ukhuwwah Islamiyah adalah karunia Allah, sifat yang menyatu dengan iman dan taqwa. Dengan adanya ukhuwah, maka ia akan memberi pengaruh positif kepada kehidupan bermasyarakat.

Persaudaraan akan memperkuat umat dan bangsa, sedangkan perpecahan justru memperlemah di semua level kemasyarakatan. Karena itu, Allah memerintahkan kita untuk selalu berpegang pada persaudaraan berdasarkan aqidah, “Dan berpeganglah kamu pada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran: 103). Inilah yang disebut ukhuwah Islamiyah berdimensi iman. Maka, iman seseorang tidak akan sempurna tanpa dilandasi dengan ukhuwah, dan sebaliknya, ukhuwah tidak ada artinya tanpa berdasarkan keimanan. Dengan iman, menuju kepada ketaqwaan.

Dengan mengacu pada surah Al-Hujurat ayat 10, maka ukhuwah akan terwujud secara kokoh bila dilandasi dengan iman. Maksud ayat, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,” menurut Ibnu Katsir, “Seluruh kaum muslimin merupakan satu saudara karena agama.” Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh menzhalimi dan membiarkannya (dizhalimi).” (HR. Muslim, at-Tirmidzi, Abu Daud, dan Imam Ahmad)

Secara personal, hubungan antara seorang mukmin dengan orang-orang beriman lainnya bagaikan kepala dengan anggota tubuh, sebagaimana pernah disabdakan oleh Nabi SAW, “Sesungguhnya (hubungan) orang mukmin dengan orang-orang yang beriman adalah seperti (hubungan) kepala dengan seluruh anggota tubuhnya. Seorang mukmin akan merasa sakit karena orang mukmin lainnya, sebagaimana badan akan merasa sakit karena sakit pada bagian kepala.” (HR. Imam Ahmad)

Tentang lanjutan ayat, “Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat,” menurut Ibnu Katsir, “Hal tersebut merupakan penegasan dari Allah Ta’ala, dimana Dia akan memberikan rahmat kepada orang yang bertaqwa kepada-Nya.” Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan orang-orang yang bertaqwa adalah mereka yang selalu mendamaikan dua golongan, baik perorangan maupun kelompok, yang saling bertikai. Di sini, tentu saja, diperlukan orang ketiga sebagai pendamai.

Adapun puncak dari keimanan adalah ketaqwaan. Dan ketaqwaan seseorang bisa dilihat, antara lain, tidak mengusung konsep asobiyah (berdasarkan etnis,sosial politik, dan kesukuan) sebagai acuan, sebagaimana tersebut dalam ayat 13 surah Al-Hujurat, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.”

Adalah Imam Muslim dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian.” Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan, “Lihatlah, sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dari (orang kulit) merah dan hitam, kecuali jika engkau melebihkan diri dengan ketaqwaan kepada Allah.”

Imam Ahmad juga meriwayatkan, bahwa suatu hari Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabat, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling baik itu?” Rasul menjawab, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik bacaan (al-Quran)-nya, paling taqwa kepada Allah, gigih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan paling giat menyambung tali silaturahim.”

Dengan pemaparan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut di atas, sampailah kita kepada kesimpulan: sepanjang punya keimanan yang dilandasi dengan ketaqwaan, maka ukhuwah akan bisa diwujudkan. Persoalan akan muncul ketika ‘gelombangnya’ tidak sama. Ini antara lain karena adanya faktor keimanan dan ketaqwaan yang tak lagi dijadikan landasan. Dalam realitasnya, faktor “keormasan” yang sebetulnya adalah sarana untuk berhimpun, telah berubah wujud menjadi asobiyah baru. Muncul akuisme, “Ajaranku lebih bagus dari ajaranmu”, maka kita akan terjebak pada akuisme yang pernah diusung oleh iblis. Ya, ketika iblis menolak sujud kepada Adam. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam’, maka mereka pun bersujud, kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (QS. Al A’raaf: 11-12)

Sifat menonjolkan diri sendiri ini jelas akan merusak ukhuwah. Jadi, ukhuwah akan bisa langgeng jika satu sama lain setara, tidak ada yang merasa lebih unggul dari yang lain. Dan kesetaraan itu akan muncul jika masing-masing pihak bisa mengendalikan egonya, tidak menganggap diri atau kelompoknya “lebih” dari yang lain. Egoisme akan terkikis dengan sendirinya bila dasarnya adalah iman dan taqwa.

Karena itu, sebenarnya, sejauh iman dan aqidahnya benar, tidak ada alasan bagi ormas-ormas atau majelis-majelis taklim untuk tidak menjalin silaturahim. Persoalannya, adalah, sejauhmana institusi-institusi ke-Islam—an tersebut telah berbuat maksimal untuk menjalin ukhuwah? Bukankah institusi adalah sarana, bukan tujuan?

Peran Media

Tak bisa dipungkiri, dalam kenyataannya, institusi yang didirikan oleh umat Islam punya ke-aku-annya masing-masing. Sejauh tidak keluar dari koridor keimanan dan ketaqwaan, tentu masih bisa ditolelir. Tapi, kalau sudah keluar dari keimanan dan ketaqwaan, persoalannya memang perlu dicarikan solusinya dulu.

Benturan antar komunitas umumnya terjadi ketika suatu kelompok dianggap atau dituduh telah menyimpang dari aqidah ajaran induk. Di sini kita perlu hati-hati, jika perbedaan itu hanya menyangkut “cabang”, ini adalah keragamaan yang mesti diambil hikmahnya. Tapi, bila menyangkut aqidah, tentu perlu dilakukan dialog-dialog guna mengembalikan kepada ajaran yang benar. Untuk mengembalikan kepada ajaran yang benar tersebut, rujukannya mesti sama: Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Di sini, ke-ego-an mesti dieliminir. Bila ternyata ajaran yang dikembangkan dan didakwahkan itu tidak benar menurut Al-Quran dan Hadits, perlu berlapang hati untuk tidak mengembangkannya.


Lalu, dimana peran media dalam hal ukhuwah Islamiyah? Media, apa pun bentuknya (koran, tabloid, majalah, televisi, serta radio), pada dasarnya adalah alat untuk memajukan umat dan bangsa. Dengan demikian, maka apa yang disuguhkan kepada para pembaca, pendengar maupun pemirsa, adalah suguhan yang bernuansa tarbiyah dan dakwah. Ini yang semestinya. Kenyataannya, tidak selalu demikian.

Berita, begitu pendapat sebagian jurnalis, adalah sesuatu yang bengkok atau karena ada kasus. Jika informasinya lurus-lurus saja, menurut faham ini, itu bukan berita. Rasa keingintahuan masyarakat diberi ruang yang lebar. Persoalannya, apakah “berita adalah berita” atau “berita mengemban misi”?

Dalam hal ukhuwah Islamiyah, sudah semestinya media punya peran sebagai perekat. Mesti tetap mengemukakan unsur “beritanya” agar tidak ketinggalan konteks, bila ada sesuatu yang dianggap bengkok atau ada kasus, idealnya media ikut memberi solusinya. Dan, dalam penyajiannya pun hendaknya memperhatikan prinsip tabayyun secara ketat. Dengan demikian, kehadiran pers bukan membuat atau memperuncing masalah, tapi berperan secara aktif merajut ukhuwah yang (mungkin) masih berserakan.

Wallahu A’lam.

*Disampaikan pada Diskusi Panel “Peran Media Dalam Meningkatkan Ukhuwah Islamiyah” dalam rangka Rapat Kerja Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia, 6-8 Maret 2007 di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta

_____________________________________________________________________________________