Rabu, 08 Oktober 2008

Tiga tipe manusia berdasarkan aktifitasnya.

_______________________________________


ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ٭ فاطر ٣٢

Kemudian aku wariskan kitab kepada orang2 yang telah aku pilih dari hambaku, maka sebagian dari mereka orang yang aniaya pada dirinya dan sebagian dari mereka orang yang sedang dan sebagian dari mereka orang yang bercepat pada kebaikan dengan idzin Alloh. Demikian itu keuntungan yang besar.


Berdasarkan latar belakang penggerak aktifitas/pengamalannya; manusia dapat digolongkan menjadi tiga (3) tipe mental yaitu: Tipe mental Pejuang, Tipe mental Pekerja, dan Tipe mental Penjahat.

1. Tipe mental Pejuang.

Tipe mental Pejuang adalah orang yang bekerja, beraktifitas/beramal/ berjuang dengan dedikasi tinggi terbaiknya untuk tujuan menghasilkan sesu-atu yang terbaik, terbenar, dan termanfaat. Bagi seorang Pejuang ada atau tidaknya imbalan tak menjadi persoalan, yang penting ia bisa dan biasa mela-kukan yang terbaik, terbenar, teradil, teraman, termanfaat untuk kemaslahatan (kesejahteraan, kepentingan, dan keselamatan) diri dan umat seluas-luasnya.

Perjalanan waktu telah membuktikan bahwa orang-orang yang namanya harum hingga sekarang adalah para Pejuang Kebenaran. Apa sebabnya? Kare-na mereka lebih banyak memberi daripada mendapatkan; lebih banyak berkor-ban daripada mengorbankan; lebih banyak bekerja daripada berbicara; serta lebih banyak berkarya nyata daripada berkhayal nyata.

Untuk saat sekarang dan mendatang; bangsa kita umumnya dan Agama khususnya sangat memerlukan banyak Pemimpin yang terdiri dari orang-orang yang bermental dan mampu menjadi Pejuang sejati; daripada Pemimpin yang bermental sebagai Pekerja.

Salah satu ciri melekat seorang Pemimpin Pejuang adalah kepemilikan watak/karakter Perwira berjiwa Ksatria sejati yang mulia; siap setiap saat, jujur mengakui kebenaran dan tulus mengakui kesalahan dihadapan umum; sekali-pun saja tak akan pernah melakukan keculasan/pengkhianatan dengan cara cuci tangan - mencari kambing hitam/mengorbankan pihak lain/bawahannya tatkala ia terbukti berbuat kesalahan à fastabiqul khoirot !

2. Tipe mental Pekerja.

Tipe mental Pekerja adalah orang yang hanya mau melakukan sesuatu karena disuruh/diperintah atau karena mengharapkan imbalan dan keuntungan langsung. Ia akan berhenti beraktifitas apabila tidak ada lagi imbalan yang bisa didapat!. Pekerja hanyalah orang-orang yang mau bergerak apabila ada keun-tungan langsung yang bisa diperoleh, dan hanya bergerak apabila disuruh; pasif; kurang peduli, dan terkesan tak ada inisiatif sama sekali! à muqtasid !

3. Tipe mental Penjahat.

Tipe mental Penjahat adalah tipe orang yang hanya bekerja untuk keun-tungan diri dan kelompoknya (/komplotannya) sendiri. Tak menjadi soal apa-kah sikap perilaku dan tindakan yang ia lakukan dengan menghalalkan semua cara, memberatkan, menyesengsarakan, merugikan, mengorbankan orang lain yang penting dan baku; asal kepentingan diri dan kelompoknya terpenuhi à puaslah dia !. Melakukan berbagai trik culas, licik, serakah, mau menang sendiri, suka menjatuhkan martabat orang lain; adalah gaya kepiawaiannya! à dholimu li nafsihi !


Kita selaku orang iman sejati perlu dan harus berdedikasi tinggi dalam me-nempuh hidup sekali ini. Orang yang berdedikasi tinggi akan senantiasa berupaya mencari dunia dengan cara yang baik dan benar, serta akan menggunakan/me-ngeluarkannya dengan cara dan pertimbangan yang baik, benar serta demi kepen-tingan/kemaslahatan umat pula !. Salah satu caranya adalah dengan senantiasa berupaya untuk mampu berpikir, bekerja keras dan berkarya besar !.

Setiap kali ada momentum Hari Kemerdekaan, seharusnya mampu mem-bangkitkan kembali semangat juang kita; berjuang untuk melakukan perubahan lebih serius kedepan untuk kemajuan dan kebaikan masyarakat/umat dengan cara mentransformasikan (memindah-alihkan) potensi - kemampuan - keahlian kita un-tuk kemanfaatan yang seluas-luasnya, dan selalu berupaya mencari solusi cerdas beserta alternatifnya atas setiap masalah yang ada dan terjadi di lingkungannya, serta senantiasa berusaha membawa keselamatan dan kedamaian bagi lingkung-an sekitar. Dengan lain kata; ikhlas berbuat semata-mata bukan untuk mendapat-kan, tetapi berbuat ikhlas semata-mata untuk mencipta, menghasilkan, memberi, menebarkan kebaikan, kebenaran, dan kemanfaatan yang sebanyak-banyaknya serta seluas-luasnya; berupaya sedapat mungkin menjadi karya besar yang monu-mental !.

Semoga Alloh paring barokah dan manfaat !!!


_____________________________________________________________________________________

Selasa, 07 Oktober 2008

UKHUWAH MERAJUT YANG BERSERAKAN ( Oleh: Herry Mohammad Redaktur Pelaksana Majalah GATRA )


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ٭ الحجرات ١٠

Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat

(QS Al-Hujurat: 10)


يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ٭ الحجرات ١٣

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu (QS Al-Hujurat: 13)


UKHUWAH (persaudaraan). Kata ini mudah diucap, tapi, untuk mempraktekkannya tak semudah mengeluarkan kata-kata. Dalam pandangan ulama DR. Abdullah Nashih Ulwan, ukhuwwah Islamiyah adalah karunia Allah, sifat yang menyatu dengan iman dan taqwa. Dengan adanya ukhuwah, maka ia akan memberi pengaruh positif kepada kehidupan bermasyarakat.

Persaudaraan akan memperkuat umat dan bangsa, sedangkan perpecahan justru memperlemah di semua level kemasyarakatan. Karena itu, Allah memerintahkan kita untuk selalu berpegang pada persaudaraan berdasarkan aqidah, “Dan berpeganglah kamu pada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran: 103). Inilah yang disebut ukhuwah Islamiyah berdimensi iman. Maka, iman seseorang tidak akan sempurna tanpa dilandasi dengan ukhuwah, dan sebaliknya, ukhuwah tidak ada artinya tanpa berdasarkan keimanan. Dengan iman, menuju kepada ketaqwaan.

Dengan mengacu pada surah Al-Hujurat ayat 10, maka ukhuwah akan terwujud secara kokoh bila dilandasi dengan iman. Maksud ayat, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,” menurut Ibnu Katsir, “Seluruh kaum muslimin merupakan satu saudara karena agama.” Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh menzhalimi dan membiarkannya (dizhalimi).” (HR. Muslim, at-Tirmidzi, Abu Daud, dan Imam Ahmad)

Secara personal, hubungan antara seorang mukmin dengan orang-orang beriman lainnya bagaikan kepala dengan anggota tubuh, sebagaimana pernah disabdakan oleh Nabi SAW, “Sesungguhnya (hubungan) orang mukmin dengan orang-orang yang beriman adalah seperti (hubungan) kepala dengan seluruh anggota tubuhnya. Seorang mukmin akan merasa sakit karena orang mukmin lainnya, sebagaimana badan akan merasa sakit karena sakit pada bagian kepala.” (HR. Imam Ahmad)

Tentang lanjutan ayat, “Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat,” menurut Ibnu Katsir, “Hal tersebut merupakan penegasan dari Allah Ta’ala, dimana Dia akan memberikan rahmat kepada orang yang bertaqwa kepada-Nya.” Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan orang-orang yang bertaqwa adalah mereka yang selalu mendamaikan dua golongan, baik perorangan maupun kelompok, yang saling bertikai. Di sini, tentu saja, diperlukan orang ketiga sebagai pendamai.

Adapun puncak dari keimanan adalah ketaqwaan. Dan ketaqwaan seseorang bisa dilihat, antara lain, tidak mengusung konsep asobiyah (berdasarkan etnis,sosial politik, dan kesukuan) sebagai acuan, sebagaimana tersebut dalam ayat 13 surah Al-Hujurat, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.”

Adalah Imam Muslim dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian.” Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan, “Lihatlah, sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dari (orang kulit) merah dan hitam, kecuali jika engkau melebihkan diri dengan ketaqwaan kepada Allah.”

Imam Ahmad juga meriwayatkan, bahwa suatu hari Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabat, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling baik itu?” Rasul menjawab, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik bacaan (al-Quran)-nya, paling taqwa kepada Allah, gigih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan paling giat menyambung tali silaturahim.”

Dengan pemaparan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut di atas, sampailah kita kepada kesimpulan: sepanjang punya keimanan yang dilandasi dengan ketaqwaan, maka ukhuwah akan bisa diwujudkan. Persoalan akan muncul ketika ‘gelombangnya’ tidak sama. Ini antara lain karena adanya faktor keimanan dan ketaqwaan yang tak lagi dijadikan landasan. Dalam realitasnya, faktor “keormasan” yang sebetulnya adalah sarana untuk berhimpun, telah berubah wujud menjadi asobiyah baru. Muncul akuisme, “Ajaranku lebih bagus dari ajaranmu”, maka kita akan terjebak pada akuisme yang pernah diusung oleh iblis. Ya, ketika iblis menolak sujud kepada Adam. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam’, maka mereka pun bersujud, kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (QS. Al A’raaf: 11-12)

Sifat menonjolkan diri sendiri ini jelas akan merusak ukhuwah. Jadi, ukhuwah akan bisa langgeng jika satu sama lain setara, tidak ada yang merasa lebih unggul dari yang lain. Dan kesetaraan itu akan muncul jika masing-masing pihak bisa mengendalikan egonya, tidak menganggap diri atau kelompoknya “lebih” dari yang lain. Egoisme akan terkikis dengan sendirinya bila dasarnya adalah iman dan taqwa.

Karena itu, sebenarnya, sejauh iman dan aqidahnya benar, tidak ada alasan bagi ormas-ormas atau majelis-majelis taklim untuk tidak menjalin silaturahim. Persoalannya, adalah, sejauhmana institusi-institusi ke-Islam—an tersebut telah berbuat maksimal untuk menjalin ukhuwah? Bukankah institusi adalah sarana, bukan tujuan?

Peran Media

Tak bisa dipungkiri, dalam kenyataannya, institusi yang didirikan oleh umat Islam punya ke-aku-annya masing-masing. Sejauh tidak keluar dari koridor keimanan dan ketaqwaan, tentu masih bisa ditolelir. Tapi, kalau sudah keluar dari keimanan dan ketaqwaan, persoalannya memang perlu dicarikan solusinya dulu.

Benturan antar komunitas umumnya terjadi ketika suatu kelompok dianggap atau dituduh telah menyimpang dari aqidah ajaran induk. Di sini kita perlu hati-hati, jika perbedaan itu hanya menyangkut “cabang”, ini adalah keragamaan yang mesti diambil hikmahnya. Tapi, bila menyangkut aqidah, tentu perlu dilakukan dialog-dialog guna mengembalikan kepada ajaran yang benar. Untuk mengembalikan kepada ajaran yang benar tersebut, rujukannya mesti sama: Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Di sini, ke-ego-an mesti dieliminir. Bila ternyata ajaran yang dikembangkan dan didakwahkan itu tidak benar menurut Al-Quran dan Hadits, perlu berlapang hati untuk tidak mengembangkannya.


Lalu, dimana peran media dalam hal ukhuwah Islamiyah? Media, apa pun bentuknya (koran, tabloid, majalah, televisi, serta radio), pada dasarnya adalah alat untuk memajukan umat dan bangsa. Dengan demikian, maka apa yang disuguhkan kepada para pembaca, pendengar maupun pemirsa, adalah suguhan yang bernuansa tarbiyah dan dakwah. Ini yang semestinya. Kenyataannya, tidak selalu demikian.

Berita, begitu pendapat sebagian jurnalis, adalah sesuatu yang bengkok atau karena ada kasus. Jika informasinya lurus-lurus saja, menurut faham ini, itu bukan berita. Rasa keingintahuan masyarakat diberi ruang yang lebar. Persoalannya, apakah “berita adalah berita” atau “berita mengemban misi”?

Dalam hal ukhuwah Islamiyah, sudah semestinya media punya peran sebagai perekat. Mesti tetap mengemukakan unsur “beritanya” agar tidak ketinggalan konteks, bila ada sesuatu yang dianggap bengkok atau ada kasus, idealnya media ikut memberi solusinya. Dan, dalam penyajiannya pun hendaknya memperhatikan prinsip tabayyun secara ketat. Dengan demikian, kehadiran pers bukan membuat atau memperuncing masalah, tapi berperan secara aktif merajut ukhuwah yang (mungkin) masih berserakan.

Wallahu A’lam.

*Disampaikan pada Diskusi Panel “Peran Media Dalam Meningkatkan Ukhuwah Islamiyah” dalam rangka Rapat Kerja Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia, 6-8 Maret 2007 di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta

_____________________________________________________________________________________

Rabu, 24 September 2008

Pondok Pesantren LDII Burengan Kediri

I. Pendahuluan

Hingga saat ini kajian ilmiah mengenai Pondok Pesantren Burengan (PPB) yang terletak di kota Kediri sebagai salah satu pondok pesantren besar di Indonesia masih belum memadai. Padahal selama satu dekade terakhir ini PPB mengalami perkembangan yang luar biasa. Sejak tahun 2001 misalnya, PPB mengelola dan mendidik siswa (santri) mukim rata-rata berjumlah 1700 orang.1 Angka itu belum mencakup santri kalong yang pada saat tertentu secara periodik dapat mencapai 3000 orang.2 PPB tidak hanya mendidik santri-santri yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia tetapi juga dari luar negeri seperti Singapura Malaysia, Perancis, Belanda, Suriname, dan sebagainya. Dengan demikian alumni PPB juga menyebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia dan luar negeri.

Apa yang digambarkan di atas berhubungan dengan efektifitas dan efisiensi dari sistem pendidikan yang diterapkan di PPB. Sistem pendidikan di pesantren ini terutama berbasiskan pada kajian intelektual dari sumber ilmu Islam yaitu Al Qur’an an Al Hadits. Metode pembelajaran yang diterapkan di pesantren ini berpegang pada kajian tekstual yang ditransformasikan dalam bentuk-bentuk kultural yang bersifat kontektual dan kemudian dimanifestasikan dalam prilaku yang islami.

Keunikan PPB juga dapat dilihat dari sarana dan prasarana yang dimilikinya. Pesantren ini memiliki sarana gedung yang cukup representatif baik untuk ruang belajar, tidur, kamar mandi, perpustakaan, aula pertemuan dan olah raga, masjid, dapur dan sebagainya. Masjid yang berada di komplek pondok juga dilengkapi dengan menara setinggi 90 M. Apa yang paling menarik adalah kebersihan podok pesantren kelihatan sangat terjamin. Hal ini berbeda dengan citra pondok pesantren tradisional selama ini yang diidentikkan dengan penyakit kulit karena kejorokannya. Hal yang juga menarik adalah bahwa ribuan alumni lulusan PPB ini terserap oleh kebutuhan masyarakat modern yang haus secara spiritual. Mereka menjadi mubaligh di berbagai penjuru di Indonesia dan beberapa negara di luar negeri.

Dengan latar belakang itulah artikel ini akan mengkaji bagaimana sistem pendidikan PPB sehingga mampu berkembang menjadi pondok pesantren yang mampu menjadi rahmatan lil alamin bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Artikel ini akan lebih memfokuskan pada kajian model pembelajaran hukum-hukum Islam di PPB. Penekanan pada kajian model pembelajaran ini sangat penting karena model pembelajaran akan mempengaruhi dan menentukan pola berpikir dan berperilaku para santri alumni dalam kehidupan masyarakat.3

II. Potret Pondok Pesantren Burengan

A. Sejarah Singkat

Pondok Pesantren LDII Burengan atau juga dikenal dengan nama Pondok Burengan terletak di jalan H.O.S. Cokroaminoto 195 Kediri, propinsi Jawa Timur. Pondok Burengan memiliki sejarah yang cukup panjang. Pondok pesantren ini didirikan oleh K.H. Nurhasan Al Ubaidah pada tahun 1952 dengan nama Pondok Pesantren Burengan-Banjaran Kediri. Pada waktu itu kondisi bangunan pondok masih sangat sederhana yaitu dengan dinding bambu dan lantai tanah. Dengan perjuangan dakwah yang tidak mengenal lelah dan penuh dengan pengorbanan akhirnya K.H. Nurhasan Al Ubaidah berhasil mengembangkan pondok pesantren ini dengan cepat.

Pada awal perkembangannya, strategi dakwah yang digunakan adalah dengan menyelengarakan asrama khataman Al Qur’an dan Hadits yang diselenggarakan dengan cara keliling (dengan tempat yang berpindah-pindah). Bahkan tidak jarang K.H. Nurhasan melayani debat terbuka dengan para kyai terkenal di kawasan Jawa Timur.4 Asrama khataman yang pertama diselenggarakan pada tahun 1954 yang pada waktu itu diikuti oleh 30 laki-laki dan 10 perempuan. Pada tahun 1956, kegiatan asrama Al Qur’an diselenggarakan di Jalan Panggung Sasak Surabaya dengan diikuti oleh sekitar 100 orang. Strategi dakwah semacam ini sangat menarik perhatian masyarakat yang haus akan ilmu Al Qur’an dan Hadits. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1960-an terjadi konflik yang semakin memanas antara partai-partai politik yang Islam dengan partai-partai politik yang sekuler.

Pada tahun 1973 K.H. Nurhasan Al Ubaidah menderita sakit sehingga tidak mampu lagi untuk mengelola Pondok Burengan. Pada akhirnya Dewan Guru Pondok memilih Drs. Bachroni Hertanto selaku Pimpinan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) sebagai pimpinan pondok hingga wafatnya pada tahun 1985. Selanjutnya Direktorium Pusat LEMKARI berserta dengan Dewan Guru Pondok dan anggota civitas akademika lain memilih Drs. H. Imam Supardi sebagai Pimpinan pondok. Namun demikian karena kesibukannya sebagai pegawai negeri, ia kemudian mengundurkan diri sebagai pimpinan pondok pada tahun 1989. Untuk selanjutnya terpilihlah H. Abdul Hamid Mansur, S.H. untuk menjadi ketua pimpinan Pondok Pesantren LEMKARI. Pada tahun 19-20 November 1990 LEMKARI menyelenggarakan Musyawarah Besar (MUBES) ke-4 di Jakarta yang memutuskan antara lain perubahan nama LEMKARI menjadi LDII.5 Dengan demikian namanya juga berubah menjadi Pondok Pesantren LDII Burengan-Banjaran Kediri. Nama ini dipakai hingga saat ini. Pada saat ini pimpinan pondok dipegang oleh K.H. Kuncoro Kaseno, S.E.

B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan

Puncak dari struktur organisasi pondok pesantren adalah Dewan Penasehat yang beranggotakan dua orang. Dewan Penasehat mempunyai tugas memberikan garis besar arah kebijakan pengembangan pondok pesantren di masa depan. Di samping memiliki fungsi konsultatif, Dewan Penasehat juga memiliki fungsi kontrol dan evaluasi terhadap kinerja yang dilakukan oleh Pimpinan Pondok. Dengan demikian Dewan Penasehat memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menentukan arah perkembangan pondok.

Di bawah Dewan Penasehat terdapat Pimpinan Pondok yang merupakan badan eksekutif tertinggi yang bertugas menjabarkan dan mengimplementasikan arah kebijakan pengembangan pondok pesantren yang digariskan oleh Dewan Penasehat. Pimpinan Pondok bertanggungjawab atas pengelolaan seluruh perputaran roda kehidupan pondok sehari-hari. Berkembang dan mundurnya pondok ditentukan oleh kinerja Pimpinan Pondok yang dibantu oleh Wakil Pimpinan Pondok dan jajaran stafnya. Pada saat ini Pimpinan Pondok dijabat oleh K.H. Kuncoro Kaseno, S.E. sedangkan Wakil Pimpinan Pondok dipegang oleh H. Umar Shodiq.

Dalam pengelolaan kegiatan sehari-hari Pimpinan Pondok dibantu oleh staf yang terdiri dari Sekretaris dan Bendahara. Sekretaris bertanggungjawab kepada Pimpinan Pondok dalam pelaksanaan tugasnya di bidang administrasi umum pondok. Dalam mengemban tugas, sekretaris dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris. Sementara itu tugas Bendahara adalah mengelola keuangan pondok dan mempertangungjawabkannya kepada Pimpinan Pondok. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bendahara dibantu oleh Wakil Bendahara.

Untuk pelaksanaan tugas harian dalam rangka menggerakkan dinamika pondok, Pimpinan Pondok dibantu juga oleh Koordinator Bidang dan Seksi-seksi. Dalam hal ini terdapat satu koodinator yaitu Koordinator Bidang Pendidikan yang dibantu oleh seorang Sekretaris Seksi Pendidikan dengan membawahi: Seksi Pendidikan Siswa, Seksi Pendidikan Generasi Penerus, dan Seksi Pendidikan Warga. Seksi Pendidikan Siswa bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan proses pembelajaran para santri secara umum. Seksi Pendidikan generasi penerus (Generus) menjalankan fungsi untuk membina para santri dan remaja lingkungan pondok untuk mendalami ilmu Al Qur’an dan Hadits dengan harapan agar mereka dapat menjalankan hidupnya dengan menjadi mubaligh. Sementara itu seksi Pendidikan Warga bertugas menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengajian dan kegiatan keagamaan lain dengan sasaran anggota keluarga para pengurus dan guru pondok. Selain itu juga terdapat sembilan Seksi di luar pendidikan yaitu Seksi Pembangunan, Seksi Keamanan, Seksi Hubungan Masyarakat, Seksi Konsumsi, seksi Kendaraan, Seksi Kebersihan, Seksi Olah Raga, Seksi Kesehatan, serta Pembantu Umum.

Di dalam struktur Bidang Pendidikan terdapat Dewan Guru yang merupakan kumpulan dari para pengajar atau ustad yang mengajar berbagai ilmu agam di Pondok. PPB memiliki 40 orang guru yang terdiri dari 30 guru pria dan 10 orang guru wanita. Anggota Dewan Guru ini sebagian besar menetap di dalam lingkungan pondok, sedangkan sisanya tinggal di luar pondok. Semua guru adalah para alumnus terbaik dari PPB. Namun demikian mereka direkrut menjadi guru PPB setelah mereka menjalani pengabdian sebagai mubaligh di daerah-daerah tugass. Pada saat mereka bertugas di daerah-daerah itulah para guru senior memantau dan menilai kinerja mereka. Jika mereka dapat menjalankan tugas dengan baik tanpa ada cacat moral dan sosial, maka mereka bisa direkrut menjadi guru di PPB sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Secara formal, Pondok Burengan tidak dapat dipisahkan dengan organisasi LDII. Antara Pondok Burengan dan organisasi LDII memiliki ikatan historis dan emosional yang sangat erat. Pondok Burengan merupakan pondok pesantren yang berada di bawah payung organisasi LDII. Sebaliknya organisasi LDII mewadahi kepentingan-kepentingan Pondok Burengan dalam berhubungan dengan lembaga-lembaga lain baik pemerintah maupun non-pemerintah. Dimensi-dimensi kegiatan dakwah dari organisasi LDII terutama yang menyangkut pendidikan para mubaligh dipersiapkan dan digodog oleh Pondok Burengan. Jadi ada semacam hubungan timbal balik antara keduanya.

Penggodogan santri calon mubaligh sebetulnya bukan hanya dilakukan di PPB saja tetapi juga di pondok-pondok pesantren yang lebih kecil yang disebut Pondok Mini. Pondok Mini ini berfungsi mendidik dan mempersiapan santri lokal agar dapat lolos test masuk PPB. Bagi daerah yang belum memiliki Pondok Mini dapat mempersiapkan hal ini di Pondok Gading Mangu di Kertosono. Pada saat ini hampir setiap daerah setingkat kabupaten / kota atau setingkat DPD (Dewan Pimpinan Daerah) LDII Kabupaten/ Kota sudah memiliki pondok mini. Namun demikian belum ada jumlah yang pasti mengenai hal ini. Yang jelas bahwa saat ini LDII sudah memiliki cabang di 32 propinsi (DPD Propinsi), 302 DPD Kabupaten/ Kota, 1637 PC (Pengurus Cabang) di tingkat kecamatan, dan 4.500 PAC (Pengurus Anak Cabang) di tingkat desa.6

Perlu dikemukakan di sini bahwa para pengurus Pondok dipilih dengan menggunakan dasar ‘musyawarah untuk mufakat’ di antara anggota Dewan Pimpinan Pusat LDII, Dewan Guru Pondok, dan civitas akademika yang lain. Prosedur ini memang sesuai dengan ajarah Islam yang menganjurkan kepada umat selalu bermusyawarah dalam memecahkan persoalan umat. Musyawarah diyakini dapat mengakomodasi berbagai pendapat dan kepentingan dalam bingkai yang sama. Oleh karena itu tidak pernah terjadi percekcokan di antara warga pondok dalam persoalan pemilihan pengurus Pondok.

C. Fasilitas

Pondok pesantren yang terletak di tengah kota Kediri ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran para santri. Secara umum dapat dikatakan bahwa PPB memiliki kapasitas untuk menampung santri mukim sebanyak sekitar 2000 orang baik laki-laki maupun perempuan dan sekitar 50 orang pengurus dan guru pondok beserta keluarganya.

Bangunan-bangunan pondok terletak di atas tanah seluas 3,4 hektar yang terdiri dari antara lain: kantor pondok 2 lantai, bangunan parkir 7 lantai, gedung Aula Wali Barokah 3 lantai, Gedung DMC Asrama Putra 50 kamar 3 lantai, Asrama Putri 70 kamar 3 lantai, Masjid Baitil A’la 3 lantai, Menara Agung setinggi 99 meter, bangunan kamar tamu umum pria 2 lantai, kamar tamu umum wanita, kamar tamu Wisma Tenteram, Gedung Pengajian, Kantor Organisasi DPP LDII, bangunan rumah para pengasuh dan pengajar, Unit Kesehatan Pria, Unit Kesehatan Wanita, Dapur Asrama, ruang makan tamu, ruang olah raga fitness, lapangan olah raga tenis lantai, dan berbagai unit bangunan lain seperti dapur kamar mandi, ruang tamu, dan sebagainya. Beberapa dari gedung-gedung itu penggunaanya diresmikan oleh para pejabat negara seperti Gedung Aula wali barokah diresmikan oleh Menteri Siswono Yudho Usodo.

PPB tidak memiliki gedung untuk sekolah formal sebab PPB mengkhususkan pada kajian kitab dengan beberapa tambahan pelajaran praktis untuk kehidupan masyarakat. Hal ini berhubungan dengan tujuan PPB yang memang khusus mencetak para pendakwah Islam. Biasanya mereka yang masuk PPB sudah menyelesaikan pendidikan formal pada tingkat tertentu. Baru setelah mereka lulus PPB dan bertugas di daerah, maka sebagian mereka ada yang melanjutkan sekolah formal sambil menjadi mubaligh.

Para santri putri (santriwati) dan santri putra (santriwan) dipisahkan dengan menempati gedung yang berbeda, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh dan masih satu kompleks. Antara asrama puta dan putri terpisahkan oleh masjid. Namun demikian pada jalan menuju ke masjid dibuat tanda pemisah yang terbuat dari tali antara jalan yang khusus santriwati dan santriwan agar di antara mereka tidak senggol-senggolan atau bertabrakan.

Selain memiliki sarana meja-kursi untuk mengaji sebanyak ± 1.500 unit juga terdapat fasilitas antara lain mobil van 4 unit, truk 2unit, minibus 1 unit, dan sepeda motor sebanyak 20 unit. Selain itu, untuk sarana belajar juga disediakan perpustakaan dan fasilitas komputer serta tempat praktek untuk pelajaran ketrampilan seperti menjahit, memasak, dan sebagainya. Selain itu PPB juga memiliki koperasi atau yang disebut Usaha Bersama (UB) yang menyediakan berbagai keperluan sehari-hari dan sembako (sembilan bahan pokok). Selain itu juga ada unit UB yang menangani penjualan kitab-kitab yang dibutuhkan oleh para santri dan para peziarah yang datang dari luar kota yang ingin ber-silaturrahim di PPB. Selain disediakan oleh UB, berbagai keperluan ibadah dan pakaian termasuk-kitab-kitab juga dijual oleh kios-kios yang dimiliki oleh keluarga pengurus PPB dan Dewan Guru yang tinggal di dalam kompleks PPB. Fasilitas lain adalah tersedianya air minum di dalam dispenser yang dapat digunakan oleh dan untuk kesejahteraan seluruh civitas akademika

Satu hal yang menyolok adalah bahwa fasilitas-fasilitas tersebut di atas tampak bersih dan terawat serta tidak terkesan adanya kekumuhan yang secara umum merupakan salah satu ciri khas dari pondok pesantren. Hal ini barangkali tidak luput dari peran seksi Kebersihan pondok yang dapat memberdayakan segala sumber daya yang ada di kampus.

III. Sistem Pendidikan

Visi yang ingin dicapai oleh Pondok Pesantren LDII adalah terlaksananya cita-cita yang dikenal dengan ‘Tri Sukses Pondok LDII’ yang mencakup sukses dalam bidang akhlak, alim, dan trampil/mandiri. Dalam bidang akhlak, pondok ini berusaha untuk mencetak manusia yang berwatak akhlakul karimah, mempunyai budi pekerti luhur, mempunyai tata karma, dan sopan santun dalam pergaulan masyarakat dan keluarga. Para alumni diarapkan menjadi manusia yang memiliki jati diri, berwatak budi luhur, mampu bergaul dengan masyarakat, menghargai orang tua, dan mentaati segala peraturan dan perundang-undangan. Dalam bidang ilmu, pondok ini berusaha untuk mencetak manusia-manusia yang berilmu, mempunyai bekal ilmu agama Islam yang mantap serta mampu mengamalkan ilmu agama secara benar baik secara pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Di bidang ketrampilan dan kemandirian, pondok ini bertekad untuk mencetak insane mandiri. Oleh karena ini di samping para santri menerima pelajaran ilmu-ilmu agaa, merekajuga diberi bekal ketrampilan ssuai dengan bakatnya seperti kerampilan menjahit/ bordir, pertukangan batu/ kayu, elektronik, perbengkelan, pertanian, dan sebagainya. Denbgan demikian diharapkan setelah mereka lulus dari pondok tidak akan menggantungkan diri dapa keluarga dan orang tua, tetapi dapat hidup mandiri.

Sistem pengajaran di PPB tidak didasarkan atas penjejangan yang ketat sebagaimana sekolah formal. Misalnya dalam hal penerimaan santri tidak ada batasan waktu. Setiap bulan PPB dapat menerima santri baru atau bahkan setiap hari. Sebaliknya setiap saat PPB juga meluluskan santri-santrinya tergantung dari kesiapan para santri untuk menjalani test kelulusan, baik kelulusan masing-masing tingkat maupun kelulusan akhir. Dengan demikian pada dasarnya sistem pembelajaran di PPB ini meskipun dilaksanakan secara klasikal berdasar kelompok pembelajaran tetapi sesungguhnya bersifat individual. Bagi santri yang merasa sudah mampu dapat sewaktu-waktu mengajukan untuk test kelulusan tingkat ataupun test kelulusan akhir.

A. Kurikulum

Pondok Pesantren LDII Burengan merupakan ‘pondok tradisional plus’. Dalam hal ini santri tidak hanya diberi pelajaran ilmu agama saja tetapi juga dibekali ketrampilan sehingga bisa tercipta sumber daya manusia yang trampil dan mandiri yang dilandasi iman dan taqwa kepada Tuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di pondok pesantren ini bersifat non formal. Dalam hubungan ini, sistem pendidikan tidak mengenal adanya tingkatan formal dan akhir tahun ajaran. Para santri dikelompokkan atas dasar spesialisasi kitab dan daya serap ilmu yang diajarkan. Setiap santri yang sudah merasa siap dapat mengajukan ujian untuk memperoleh kelulusan.

Ada berbagai kelompok pembelajaran sesuai dengan tingkat kompetensi masing-masing santri mulai dari kelas anak-anak, pemula, hingga kelas untuk persiapan ujian. Paling tidak ada sembilan kelompok pembelajaran yaitu Cabe Rawit (usia 5-12 tahun), Menulis Arab, Bacaan Al Qur’an, Tafsir Lambatan Jawa, Tafsir Lambatan Indonesia, Tafsir Cepatan Jawa, Tafsir Cepatan Indonesia, Ujian/ Test, dan Lanjutan/ Terampil.

Pada kelompok pembelajaran Cabe Rawit, pelajaran yang diberikan adalah hafalan doa-doa shalat, praktek shalat, hafalan doa harian, thoharoh, menulis huruf Arab dan Pegon, pendidikan akhlak. Pada kelompok pembelajaran Menulis Arab diajarkan mata pelajaran menulis huruf Hijaiyah, menulis Pegon, materi Pegon. Adapun kelompok pembelajaran Bacaan Al Qur’an diberi pelajaran tajwid dan materi bacaan. Sementara itu kelompok pembelajaran Tafsir Lambatan Jawa memberikan pelajaran kajian Al Qur’an dan Hadits dalam bahasa Jawa yang disertai dengan materi kelompok lambatan, sedangkan kelompok Tafsir Lambatan bahasa Indonesia diberikan dalam bahasa Indonesia. Demikian juga kelompok pembelajaran cepatan baik bahasa Jawa maupun Indonesia materinya sama hanya saja disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan ditambah materi kelompok cepatan.

Sementara itu kelompok pembelajaran ujian/ test (tiga bulan) memberikan pelajaran lebih komprehensif yaitu: bacaan Al Qur’an, Tafsir Al Qur’an, Metode Dakwah, Manajemen, Penyuluhan Hukum, Penyuluhan Kesehatan, dan Keputrian. Adapun kelompok pembelajaran Terampil/ Lanjutan berlangsung selama 1 tahun dengan mendapatkan materi Tafsir Kutubussitah (Kajian enam hadits sahih).

B. Bahan Ajar

Bahan ajar pokok yang digunakan dalam proses pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan adalah sumber asli agama Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Para kyai dan santri memanfaatkan kedua kitab itu sebagai sumber primer. Kitab-kitab yang sifatnya sekunder karya para ulama tidak digunakan. Memang betul bahwa hampir semua pondok pesantren mendasarkan diri pada Al Qur’an dan Hadits, namun bahan ajar yang digunakan tidak langsung pada kajian-kajian kedua kitab itu, tetapi menggunakan kitab-kitab sekunder karya para ulama besar terdahulu seperti kitab fiqih, tauhid, dan sebagainya. Di samping kedua kitab utama itu juga diajarkan beberapa ilmu tambahan seperti ilmu tawid, menulis Arab, bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Usul Fiqih, Mustholah Hadits, dan sebagainya. Sementara itu materi ketrampilan terdiri dari berbagai kursus sesuai dengan bakat mereka. Sedangkan materi yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan pemerintahan, pondok ini mengajarkan olah raga, bakti sosial, bahasa Indonesia, metode dakwah, manajemen, dan sebagainya.

Kitab Al Qur’an yang menjadi bahan kajian sama dengan kitab yang dipakai oleh masyarakat umum seperti terbitan Toha Putera, Gunung Agung, dan sebagainya. Seringkali kitab Al Qur’an yang digunakan oleh para santri dan kyai berasal dari terbitan negara-negara Timur Tengah, khususnya Beirut. Terbitan ini diperoleh ketika para santri menunaikan ibadah haji di Mekkah ataupun titip kepada calon haji untuk dapat dibelikan di sana. Kadang-kadang mereka memperoleh kitab itu dari oleh-oleh sahabat mereka yang baru saja datang dari Mekkah. Seringkali kitab-kitab terbitan luar negeri ini berfungsi ganda yaitu sebagai bahan ajar dan sekaligus sebagai kebanggaan yang dipajang di almari. Sudah barang tentu kitab-kiab hadits yang dibeli di Mekah ataupun Madinah merupakan kitab-kitab hadits besar. Namun demikian ada juga yang memperoleh kitab itu dengan cara membeli dari toko-toko kitab di Indonesia.

Biasanya kitab Al Qur’an yang dipakai oleh para kyai dan santri berupa kitab ‘kosongan’ dalam arti bukan kitab yang sudah diberi terjemahan. Para santri, khususnya santri pemula, lebih memilih kitab Al Qur’an yang lembaran halamannya memiliki space yang lebar yang memungkinkan mereka dapat mengisinya dengan makna yang diajarkan oleh sang kyai di sela-sela di antara baris yang ada. Dengan demikian kitab-kitb yang sudah dimaknai (seperti terbitan Departemen Agama) tidak digunakan dalam PPB.

Bahan ajar pokok ke dua adalah kitab-kitab hadits atau sunnah nabi. Kitab ini merupakan kitab yang dihimpun oleh para penghimpun hadits yang berisi segala pikiran, ucapan, tindakan dan tauladan Nabi Muhammad SAW. Kesaksian dari orang-orang yang masih sempat berguru dengan pendiri PPB yaitu KH Nur Hasan Al Ubaidah mengatakan bahwa kyai itu menguasai ilmu Hadits (memberi makna dan keterangan) sebanyak 49 jenis himpunan Hadits yang terdiri dari 6 hadits yang biasanya dikategorikan sebagai kutubussitah (yang tingkat kesahihannya diakui semua sekte Islam kecuali Syiah dan beberapa sekte yang mengingkari keabsahan hadits nabi) dan sisanya adalah berbagai hadits komplemen. Kitab-kitab hadits kutubussitah terdiri dari himpunan hadits yang disusun oleh Buchori, Muslim, Ibn Majjah, Abi Daud, Sunan Tirmidzi, dan Nasa’i.

Selain kitab hadits-hadits besar, juga dijumpai bahan ajar yang berupa kitab-kitab himpunan. Kitab himpunan merupakan cuplikan-cuplikan hukum-hukum atau dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits yang disusun berdasarkan bidang atau topic tertentu seperti Kitabussholah (kitab tentang shalat), Kitabudda’wat (kitab kumpulan doa-doa), Kitabul Ilmi (kitab tentang kewajiban belajar ilmu agama), Kitabul Imaroh (kitab tentang keimaman), dan sebagainya. Berdbeda dengan kitab Al Qur’an dan Hadits, kitab-kitab himpunan ini disusun sendiri oleh pondok pesantren. Dalil-dalil yang dituangkan dalam kitab-kitab himpunan ini merupakan dasar-dasar hukum yang kuat dan applicable.

Jika dilihat dari isinya, kitab-kitab himpunan ini merupakan pengantar bagi para pemula atau jamaah baru. Penggunaan kitab himpunan untuk para pemula ini didasari atas pertimbangan jika mereka langsung belajar dari kitab-kitab besar saja maka berbagai jenis amalan urgen yang harus segera dilakukan tidak bisa segera diamalkan secara benar. Oleh karena itu jika ada jamaah baru maka di samping mereka mengkaji kitab-kitab besar, juga diberikan kitab-kitab himpunan agar dapat segera beramal secara benar sehingga jika meninggal sewaktu-waktu mereka sudah dalam pengamalan yang benar. Dalam hubungan itu kitab-kitab hadits besar merupakan bahan ajar pengayaan dan pendalaman.

Bahan ajar yang juga sangat penting dalam menjaga keimanan para santri adalah nasehat-nasehat ulama yang dituangkan dalam bentuk teks tertulis. Teks ini disebarluaskan dan menjadi bahan pembinaan baik bagi para santri di pondok pesatren Burengan maupun warga LDII secara umum. Teks nasehat ini berisi nasehat-nasehat dalam konteks mengatasi persoalan-persoalan actual dengan menggunakan dasar-dasar hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Hadits. Dalam hukum Islam nasehat ulama merupakan salah satu bentuk dasar hukum Islam yang disebut ijma’ atau ijtihad.

C. Kegiatan Santri

Para santri biasanya bangun atau dibangunkan pada waktu pukul 02.00 dini hari untuk melakukan sholat malam (sholat tahajud, sholat hajad, sholat tasbih, dan sebagainya), dzikir, dan doa sepertiga malam yang terakhir yang diyakini merupakan waktu yang mustajab (manjur) untuk memanjatkan doa kepada Allah. Bagi santri yang tidak mengantuk dan masih memiliki semangat akan terus melakukan doa hingga menjelang waktu sholat subuh. Setelah menunaikan sholat subuh, para santri kemudian mengaji Al Qur’an secara umum, yaitu bacaan, makna, dan keterangan. Pengajian yang diselenggarakan di masjid Baitil A’la ini diikuti oleh semua kelompok pembelajaran. Mereka duduk dengan santai di lantai masjid dengan memegang kitab mereka masing-masing. Kegiatan ini berlangsung hingga pukul 06.00. Setelah itu para santri kemudian istirahat. Pada umumnya mereka melakukan persiapan belajar dan ada juga yang mencuci pakaian. Mereka makan pagi mulai pukul 07.00.

Pelajaran dimulai pukul 08.00 hingga pukul 09.30 sesuai dengan kelompok pembelajaran mereka masing-masing. Setelah istirahat selama setengah jam, mereka belajar lagi dari pukul 10.00 hingga pukul 11.00. Setelah itu mereka diberi kesempatan untuk istirahat hingga sholat dhohor. Kegiatan selanjutnya adalah makan siang dan istirahat hingga pukul 14.00. setelah itu mereka menerima pelajaran lagi hingga waktu sholat asar sekitar pukul pukul 15.00. Setelah sholat mereka istirahat sambil nderes atau memperdalam kitab secara sendirian ataupun dengan teman-teman kelompok ataupun sekedar membaca Al Qur’an.

Setelah mandi dan makan sore mereka bergegas ke masjid untuk persiapan sholat maghrib. Sambil menunggu imam sholat, biasanya mereka membaca Al Qur’an. Setelah sholat maghrib dilanjutkan dengan nasehat dari pengurus pondok ataupun dari ustadz. Kegiatan ini berlangsung hingga menjelang sholat isya’. Setelah sholat isya’ dilanjutkan dengan pelajaran hingga pukul 10.00. Setelah itupara santri dipersilahkan untuk istirahat tidur. Namun demikian biasanya nderes terlebih dahulu sebelum tidur. Mereka dibangunkan pukul 02.00 malam. Apa yang menarik adalah setelah bangun mereka harus mengadakan apel sesuai dengan kelompok masing-masing dan diabsen untuk melakukan sholat malam dan doa sepertiga malam yang terakhir.

Selain kegiatan harian sebagaimana yang digambarkan di atas juga ada kgiatan mingguan. Kegiatan ini khsusus untuk melatih para santri untuk dapat berorasi di depan publik. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Jumat pukul 13.30 yang dilakukan secara berkelompok dan bergiliran. Tidak ada kegiatan bulanan secara khsusus di PPB. Sementara itu kegiatan semesteran atau semesteran berupa khataman Al Qur’an, kemudian enam bulan berikutnya khataman Al Qur’an lagi, namun enam bulan berikutnya bukan khataman Al Qur’an tetapi khataman khutubussitah (kitab hadits enam) dan setelah itu kembali khataman Al Qur’an dan seterusnya. Biasanya kegiatan khataman ini bukan hanya diikuti oleh para santri yang ada di PPB tetapi juga dari pondok mini lain yang ada di seluruh Indonesia, bahkan tidak sedikit pula para warga LDII dari seluruh penjuru dunia yang memiliki kesempatan dan biaya akomodasi mengikuti kegiatan ini. Kegiatan tahunan lain adalah pondok romadhlon. Kegiatan ini diisi dengan kajian-kajian kitab secara marathon mulai setelah shalat subuh pada pagi hari hingga pukul 22.00. Bahkan pada sepuluh hari terakhir di bulan romadhlon (malam lailatul qodar) kegiatan pengajian dilakukan hingga pukul 24.00. Jumlah santri pun juga mengalami peningkatan hampir dua kali lipat, karena banyak peserta yang berasal dari luar santri PPB.

D. Rekruitmen Santri

Dalam dunia Islam sangat dipercayai bahwa ilmu merupakan hidupnya agama, ‘al ilmu hayatul islam’. Jadi hidup dan mati Islam dan para pemeluknya tergantung pada apakah ilmu agama Islam itu dikuasai dan diamalkan oleh muslim atau tidak. Jika ilmu Islam tidak tersosialisasikan di kalangan umat Islam, maka roh Islam akan hilang. Oleh karena itu sangat mudah untuk dipahami jika kegiatan pengajian ilmu Islam menjadi sangat krusial dan mendapatkan prioritas utama di Pondok Pesantren LDII Burengan ini.

Meskipun sosialisasi nilai-nilai Islam sudah dilakukan di masjid-masjid LDII yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia dengan intensitas yang cukup tinggi (rata-rata 4 kali seminggu), namun pembentukan kader-kader pendakwah di masjid-masjid dan masyarakat merupakan kunci pengembangan Islam. Oleh sebab itu sesugguhnya masjid-masjid dan surau LDII yang tersebar di desa-desa maupun kota-kota merupakan pesantren-pesantren massal. Dengan demikian efek pengembangan dalam masyarakat juga menjadi semakin cepat.

Rekruitmen dan penerimaan santri di Pondok Pesantren LDII Burengan dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah sistem ‘kiriman’. Dalam sistem ini masjid-masjid di tingkat PAC (Pengurus Anak Cabang)/ pada tingkat dengan dikoordinasikan oleh PC (Pengurus Cabang)/ pada tingkat kecamatan melalui mekanisme organisasi LDII mengirimkan pemuda-pemudi yang memiliki akhlak yang baik dan kemampuan yang memadai untuk mengikuti pendidikan di Burengan. Bisanya, pada tingkat PC mereka mengirimkan tiga calon mubaligh untuk belajar di Pondok Burengan. Masa belajar mereka rata-rata satu tahun. Setelah lulus mereka diwajibkan untuk mengikuti ‘tugasan’ atau ditugasi di daerah-daerah yang membutuhkan. Jika ditugaskan di Luar Jawa, para mubaligh tugasan ini minimal harus bertugas selama satu setengah tahun, sedangkan jika ditugaskan di Jawa, mereka memiliki masa tugas lebih pendek yaitu satu tahun. Adapaun biaya yang digunakan untuk pendidikan santri kiriman itu adalah sodaqoh dari dari jamaah dan seringkali juga berasal dari ‘bapak angkat’. Dengan demikian ada upaya saling tolong-menolong dalam pencerdasan kaum santri ini.

Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai ‘mubaligh tugasan’, jika mereka diminta oleh daerah tugasan untuk meneruskan menjadi pendakwah di daerah tugasan itu maka merekapun memiliki kebebasan untuk menentukan sikap apakah menerima ataukah menolak. Mereka juga mempunyai kebebasan untuk memilih menerima tugasan baru dengan cara melaporkan diri ke Pondok Burengan untuk ditugaskan kembali sesuai dengan permintaan masyarakat.

Cara yang kedua adalah rekruitmen secara sukarela dari para jamaah yang berkeinginan untuk belajar di Pondok Burengan. Biasanya mereka berasal dari keluarga ulama atau dari keluarga yang menginginkan anaknya menjadi ulama. Namun demikian untuk menjadi santri yang berasal dari rekruitmen sukarena ini harus mondok dulu di Pondok Gading Jombang atau ‘pondok mini’ lain. Baru setelah lolos seleksi mereka dapat belajr di Pondok Burengan. Jadi mekanisme test juga dilakukan oleh Pondok Burengan. Bagi mereka yang lolos test masuk dapat langsung belajar di Pondok Burengan, namun yang tidak lolos test harus mondok dulu di pondok mini.

Ditinjau dari asal sosial mereka, para santri yang kemudian menjadi mubaligh atau pendakwah sangat bervariasi. Ada santri yang berasat dari keluarga miskin dan sebaliknya tentu juga ada santri yang berasal dari keluarga kaya. Sangat menarik bahwa para santri di Burengan berasar dari berbagai daerah di Indonesia, bahhkan juga dari luar negeri. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya masid-majin LDII yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan bahwa juga di luar negeri seperti Malaysia, Singapuira, Brunei, Suriname, Eropa dan sebagainya.

Setelah para santri dapat menyelesaikan paket pembelajaran (baik di Burengan maupun di pondok pesantren LDII yang lain), mereka langsung ditugaskan di masjid-masjid. Mereka akan menyebarkan ilmunya kepada jamaah-jamaah yang sesuai dengan sistem pembelajaran di pesantren. Dengan demikian pada hakekatnya semua warga LDII juga merupakan santri. Jadi tidak ada proses ‘elitisasi’ ilmu Islam karena hakekatnya setiap orang Islam harus berilmu dan ini berarti setiap warga LDII juga ulama.

E. Metode Pembelajaran

Dalam Islam, pembelajaran pada hakekatnya adalah proses pemindahan pesan-pesan dari satu orang kepada orang lain. Metode pembelajaran yang digunakan baik dalam pondok pesantren maupun pengajian di masjid-masjid yang diikuti oleh jamaah biasa adalah metode sebagaimana yang digunakan oleh Nabi. Jadi ada semacam gerakan pemurnian dalam metode pembelajaran. Dalam agama Islam, sejak nabi Muhammad SAW dan para khalifah serta sahabat , proses pemindahan pesan-pesan yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits dilakukan melalui metode membaca, menulis, dan mendengar yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai verbal communication. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ‘Kalian mendengar (ilmu dariku), kemudian kalian didengar oleh murid kalian dan murid kalian didengar ole muridnya’ (Hadits Riwayat Abu Dawud). Jadi metode transfer ilmu dalam PPB mencakup dua aspek sekaligus yaitu komunikasi lisan (oral communication) dan komunikasi tulisan (written communication).

Oleh karena metode ini bukan hanya diterapkan di Pondok Burengan saja tetapi juga di seluruh pondok LDII maka para jamaah biasa sudah terbiasa dengan metode pembelajaran di pesantren. Metode ini merupakan metode pembelajaran di mana guru menyampaikan makna dan keterangan serta sejarah turunnya ayat-ayat atau hadits yang bersangkutan. Materi yang diampaikan oleh mubaligh itu berasal dari gurunya dan seterusnya sambung-menyambung hingga sampai kepada para sahabat dan Nabi. Demikian juga para santri akan menyampaikan bahan ajar itu kepada orang lain menjadi binaannya. Jadi metode pembelajaran ini saling mengikat secara keilmuan atau guru dan murid memiliki hubungan yang tiada terputus bagaikan rantai yang teputus-putus.

Dalam kontek ini, pelaksanaan metode pembelajaran Islam yang murni dan konsisten akan mengokondisikan kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Metode ini menjauhkan pikiran-pikiran ke arah reintepretasi terhadap hukum-hukum Islam yang akan menimbulkan perpecahan-perpecahan agama. Memang ijtihad diakui sebagai salah satu dasar hukum tetapi ijtihad ini diarahkan untuk memberi jalan keluar terhadap persoalan-persoalan aktual dengan dasar hukum Al Qur’an dan Hadits.

Sebaliknya pembelajaran yang islami ini juga dapat dilakukan dengan cara murid, karena mungkin murid sudah pandai, membacakan kitab, makna, dan keterangan. Sementara itu guru mendengarkan, membenarkan atau menyalahkan. Jika santri sudah membacakan kitab di hadapan guru dan jika sang guru bisa menerimanya maka ilmu sang murid sudah sah. Cara seperti ini isebut sebagai munawalah.

F. Jaringan Pembelajaran

Sebagaimana yang terjadi dalam dunia pesantren pada umumnya, hubungan kyai dan santri tidak hanya terbatas pada hubungan dalam bidang ilmu agama yaitu ketka santri sedang berguru, tetapi juga masa-masa setelah mereka keluar dari pesantren. Pondok Burengan dan pondok-pondok pesantren LDII membangun jaringan hubungan antara kyai dan santri tidak hanya dalam kehidupan pondok pesantren tetapi juga ketika santri telah lulus.

Dalam komunitas LDII, hubungan kyai dengan santri atau dengan jamaah biasa tidak hanya didasarkan atas hubungan-hubungan kekerabatan sesama muslim, namun juga lewat hubungan ilmu agama. Dalam hal ini ada program rutin di mana secara periodik mubaligh-mubaligh dikirim ke Pondok Burengan penyegaran kajian Al Qur’an dan Hadits. Kegiatan ini disebut ‘asrama’. Biasanya ‘asrama’ pada musim tertentu mengkaji kitab tertentu pula seperti khusus Al Qur’an saja atau Hadits Muslim saja, dan sebagainya. Asrama berlangsung selama beberapa hari atau kadang juga beberapa minggu sesuai dengan taget pengkataman kitab tertentu atau juz tertentu. Kegiatan ‘asrama’ ini dapot dipandang sebagai kegiatan refresh atau penyegaran kembali terhadap ilmu yang dikuasai oleh para santri yang barangkali sudah lama tidak lagi mengkajinya. Dengan demikian mereka akan segar dan ingat kembali ilmu yang ditulisnya dalam kitab-kitab mereka.

Dapat juga asrama ini diselenggarakan denggan cara mengundang kyai untuk menyampaikan kajian ilmu mereka di daerah-daerah. Kyai dari Pondok Burengan dapat datang sesuai dengan permohonan daerah. Dapat pula terjadi secara resmi kyai diutus oleh Pondok Burengan ke daerah-daerah untuk menyampaikan pembelajaran di masjid-masjid di daerah. Sementara itu di tingkat daerah, metode semacam ini juga diselengarakan dengan peserta para mubaligh di tingkat lokal (di tingkat PAC atau setingkat desa dan PC atau setingkat kecamatan). Bahkan para peserta itu bukan hanya para mubaligh lulusan Pondok Pesantren Burengan, tetapi juga para pengurus atau takmir di tingkat lokal. Dengan demikian hubungan antara kyai dengan santri dan jamaah dalam bidang keilmuan masih terjaga dengan baik.

IV. Hubungan Sosial dengan masyarakat

A. Penugasan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa rekruitmen santri di Pondok Pesantren Burengan berasal baik dari kiriman takmir-takmir masjid maupun dari para jamaah yang secara sukarela ingin memperdalam secara efektif ilmu agama di pondok pesantren.7 Para santri yang telah menamatkan pelajaran di Pondok Pesantren Burengan biasanya langsung ditugaskan oleh pondok untuk mengabdikan ilmunya di masjid-masjid yang memang membutuhkan. Seperti diketahui bahwa masjid-masjid ini merupakan suatu unit komunitas terkecil yang sebetulnya secara langsung memiliki umat. Oleh karena itu para takmir masjid ini sebetulnya yang mengetahui secara pasti apakah mereka membutuhkan tambahan mubaligh atau tidak. Mereka yang biasanya menyampaiakn kebutuhan akan mubaligh untuk kemudian pengurus pada tingkat kota atau kabupaten menyampaiakan kepada Pondok Burengan. Pada saat sekarang ini sudah jarang satu masjid hanya memiliki satu mubaligh. Kebanyakan setiap masjid sudah memiliki dua hingga 3 mubaligh dan bahkan banyak pula yang memiliki tiga mubaligh, terutama di kota-kota.

Selama penugasan pertama itu para mubaligh pemula langsung terjun di masjid-masjid untuk melayani para jamaah. Mereka harus berkonsultasi dengan mubaligh-mubaligh setempat. Selain itu mereka juga harus berkoordinasi dengan para pengurus atau takmir masjid setempat dalam pelayanan umat. Demikian juga para mubaligh muda ini harus melakukan pendekatan dengan para jamaah setempat beserta masyarakat yang ada di sekitar masjid yang mungkin hanya sebagian kecil yang ikut kegiatan pengajian di masjid-masjid LDII. Dengan demikian peran mubaligh sangat signifikan dalam pembentukan citra warga LDII di tingkat lokal. Sang mubaligh muda harus dapat bertindak sebagai suri tauladan bagi jamaah setempat.

Selama masa penugasan para mubaligh muda ini biasanya tidak diperbolehkan pulang ke rumah orang tua. Mental mereka digembleng untuk terbiasa jauh dengan orang tua serta dapat mandiri. Suatu hal yang menarik adalah bahwa selama bertugas, kehidupan ekonomi mereka secara ‘bil ma’ruf’ atau secukupnya ditanggung oleh jamaah masjid yang dibinanya.

Setelah masa penugasan selesai, mereka dibebaskan untuk pulang ke rumah orang tua. Untuk selanjutnya mereka harus siap untuk ditugaskan ke berbagai daerah baru jika mereka masih menginginkan. Untuk selanjutnya daerah (tingkat kota atau kabupaten) yang akan menentukan di masjid mana mereka harus mengabdi.

B. Praktik Budi Luhur

Dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan ditekankan bahwa pemahaman terhadap Al Qur’an dan hadits secara intelektual belum cukup. Para santri ditekankan untuk memiliki afeksi dan psikomotor islami sebagai manifestasi dari pemahamannya terhadap hukum Islam. Jika pemahaman secara intelektual terhadap hukum Islam barangkali lebih berhubungan dengan kehidupan pribadi, tetapi aspek-aspek sikap dan tingkah laku lebih banyak berhubungan dengan orang lain. Aspek-aspek yang disebutkan terakhir inilah yang akan menciptakan pencintraan terahadp warga LDII. Tingkat penerimaan masyarakat terhadap gerakan yang dibawa oleh LDII sangat bergantung kepada aspek sikap dan tingkah laku para mubaligh pada khususnya dan warga LDII pada umumnya. Oleh karena itu Pondok Pesantren Burengan selalu menekankan pentingnya memiliki budi luhur atau akhlaqul karimah bagi segenap warga LDII.

Praktik budi luhur di dalam masyarakat mencakup beberapa hal, antara lain mengagungkan dan taat kepada orang tua, mengagungkan kepada para ulama, budi luhur terhadap sesama muslim, dan budi luhur terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Sikap mengagungkan dan taat kepada orang tua (selagi tidak perintah maksiat) merupakan amal sholih dan sekaligus perintah dari Allah meskipun orang tua itu bukan seorang muslim. Praktik budi luhur kepada orang tua anatara lain bertutur kata dengan bahasa yang halus atau sopan, bila disuruh segera melaksanakan jika tidak maksiyat, bila dinasehati anak harus mendengarkan dan tidak memotong pembicaraan, senang membantu pekerjaan orang tua di rumah, tidak bohong dan jujur kepada mereka, dan sebagainya.

Bersikap mengagungkan kepada para ulama merupakan suatu kewajiban. Kepada para santri dan warga LDII selalu ditekankan tentang pentingnya sikap mengagungkan kepada para pengurus. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa mereka memiliki andil yang besar dalam mencerdaskan masyarakat. Para ulama dan mubaligh juga merupakan ‘wasilah’ atau perantara bagi ilmu-ilmu Islam. Beberapa contoh sikap dan prilaku yang menunjukkan sikap mengagungkan ulama antara lain: memanggil dengan panggilan yang sopan, berbicara dengan nada suara yang rendah, jika ulama berbicara maka harus mendengarkan, tidak membelakanginya ketika sedang dalam pengajian, jika ulama berbuat kesalahan ketika mengajar tidak boleh dihina, dan sebagainya.

Terhadap sesama muslim juga dikembang sikap budi luhur. Sesama muslim harus dibangun sikap ukhuwah islamiyah atau persaudaraan dalam Islam. Di dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan, semangat persaudaaan Islam ini betul-betul sangat ditekankan. Hal ini antara lain dapat diliohat dari semangat dan sikap bahwa harta sesama muslim adalah haram untuk diambil secara tidak sah, sesama muslim tidak boleh saling menghina dan menjatuhkan namanya. Di samping itu ditekankan bahwa sesama muslim tidak bolah saling membunuh. Ajaran moral yang Islami semacam ini sangat menarik sebagai bekal yang berarti bagi santri alumni Pondok Burengan Kediri.

Keberadaan warga LDII di tengah-tengah masyarakat bagaikan ikan yang berada di dalam air. Oleh karena itu pembinaan akhlak di Pondok Pesantren Burengan juga selalu menekankan betapa pentingnya para alumni pondok membangun hubungan baik dan kemitraan dengan masyarakat di mana mereka mengabdikan ilmu agamanya. Mereka yakin bahwa dakwah dengan perbuatan (bil khal) menjadi sarana yang hebat untuk mnyebarkan Islam. Beberapa ajaran dalam kaitannya dengan budi luhur kepada masyarakat antara lain: apabila bertemu dengan tentangga menyapa, apabila melewati sekelompok masyarakat menyapa dengan sopan, melayat warga yang sedangminggal dengan memberikan sumbangan, menjenguk tetangga yang sakit, ikut berpartisipasi dalam kerja bakti, meminta ijin jika tidak bisa mengikuti kegiatan RT, menyadari kekurangan dan mudah memaafkan, dan sebagainya.

Di samping itu ajaran moral yang betul-betul ditekankan di Pondok Burengan dan bahkan di masjid-masjid LDII yang lain adalah adanya enam tabiat luhur yang mencakup rukun, kompak, kerjasama yang baik, jujur, amanah, mujhid muzhid (hemat). Dengan ‘doktrin’ moral ini diharapkan para alumni Pondok Burengan betul-betul menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik yang akan mampu menciptakan iklim kedamaian dalam masyarakat.

C. Kerjasama dengan Masyarakat Sekitar

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa pesantren bukanlah symbol dari ‘elitisasi’ ilmu Islam. Dalam hubungan itulah Pondok Burengan berusaha untuk menghilangkan kesan adanya keterpisahan antara pondok pesantren dengan masyarakat di sekitarnya. Di bidang ekonomi, Pondok Burengan meluncurkan program ekonomi mandiri dengan cara mendirikan UB (Usaha Bersama) yang merupakan unit retail yang bukan hanya melayani warga pondok namun juga melayani masyarakat di sekitarnya.

Selain itu di bidang kemasyarakatan Pondok Burengan juga menjalin hubungan yang sinergis dengan pemerintah kabupaten Kediri untuk memperkuat ukhuwah antara ulama dengan umara. Bukti yang dapat dikemukakan di sini adalah keikutsertaan Pondok Burengan dalam lembaga Paguyuban Antar Umat Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lembaga ini merupakan badan kerjasama antar umat beragama dalam mengatasi berbagai persoalan yang harus dipecakan bersama-sama.

V. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:

Meskipun gerakan dakwah yang dilakukan oleh Pondok Pesantren LDII Burengan merupakan gerakan dakwah untuk kembali kepada kemurnian Al Qur’an dan Al Hadits, namun dengan menerapkan model pembelajaran yang berorientasi kepada pembinaan akhlak (konsep budi luhur) ternyata menghasilkan sebuah gerakan dakwah Islam yang damai yang lebih menekankan segi-segi budaya dan intelektualitas dalam mengaktualisasi hukum-hukum agama.
Aktualisasi budi luhur atau akhlaqul karimah yang diajarkan di Pondok Pesantren Burengan dapat berlangsung relatif permanen karena dikondisikan oleh jaringan pembelajaran yang solid yang termanifestasikan dalam hubungan yang selalu terjaga antara alumni pondok dengan lembaga pondok lewat media ‘asrama’ yang diselenggarakan secara periodik.

Pendekatan kultural dan intelektual dalam menanamkan hukum-hukum Islam yang murni telah melahirkan gerakan dakwah Islam yang damai.

1 Bahkan pada tahun 1997, Pondok Pesantrenini tercatat memiliki santri sebanyak 1728 orang dengan perincian 868 laki-laki dan 860 perempuan. Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, Data Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahun 1997 (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997), hlm. 819.

2 Santri mukim merupakan sebutan untuk santri yang bertempat tinggal di pondok pesantren selama belajar di pesantren, sedangkan santri mukim merupakan santri yang bertempat tinggal di luar komplek pondok pesantren.

3 Lihat misalnya Muhtarom H.M., ‘Urgensi Pesantren dalam Pembentukan Kepribadian Muslam’, dalam: Ismail S.M., Nurul Huda, dan Abdul Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 39-48.

4 Istilah asrama mengacu kepada kegiatan pengkhataman kitab secara marathon dalam waktu tertentu. Dalam acara ini para peserta, terutama yang berasal dari luar kota, biasanya menginap atau berasrama di pondok pesantren sehingga dapat sepenuhnya mengikuti kajian kitab.

5 Ludhy Cahyana, Islam Jamaah di Balik Pengadilan Media Massa: Suatu Analisis mengenai Pembunuhan Karakter terhadap Lemkari/ LDII (Jakarta: Benang Merah, 2003), hlm. 36-40.

6 Abdullah Syam, ‘Laporan Pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah islam Indonesia Periode 1998-2005’, dalam DPP LDII, Himpunan Keputusan MUNAS VI Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Jakarta 11-13 Mei 2005 (Jakarta: DPP LDII, 2005), hlm. 43-44.

7 Setiap masjid LDII biasanya memiliki paling tidak 1 mubaligh yang secara khusus memberikan pengajian-pengajian baik untuk anak-anak maupun remaja dan orang dewasa, baik pemula (mualaf) maupun orang yang sudah lama memeluk Islam (mukalaf).

source: Asian Research Center, Toyo University, Jepang kerjasama Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Selasa, 02 September 2008

LDII Sekarang Ibarat Teori Gelombang

DR. M. Syafi’i Mufid, MA.

( Peneliti, Departemen Agama - Republik Indonesia )

LDII yang saya ketahui itu kan sebuah organisasi Islam. Yang awalnya dari LEMKARI kemudian menjadi LDII. Nah, sebelumnya ada yang namanya Islam Jama’ah. Sebelum Islam Jama’ah, ada yang namanya Darul Hadits. Jadi, itu proses dimulainya sebuah tafsir terhadap ajaran-ajaran Islam tentang imamah (tentang jama’ah) kemudian implementasinya dalam bentuk gerakan, yang namanya gerakan Islam Jama’ah atau Darul Hadits.

Sebetulnya, ajaran inti dari yang kita kenal Islam Jama’ah itu adalah mengenai kejama’ahan dan keimamahan. Apa yang dipahami dari kawan-kawan Islam Jama’ah itu adalah atsar-nya dari Sayidina Umar yaitu la islama illa bil jama’ah walajamaata illa bil imamah wala imamata illa bithoah wala thoata illa bil bai’at. Kemudian mamata laisa lahu biatun mata mitatan jahiliyatan, haditsnya maupun atsarnya itu, lazim di kalangan umat Islam. Tidak merupakan sesuatu yang aneh, artinya masyhur (umum, dikenal). Yang menjadi aneh pada waktu itu adalah, kalau orang tidak masuk jama’ah, mereka itu dianggap bukan Islam. Itu masalahnya. Nah, ini kekeliruan penafsiran yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok. Kemudian oleh Majelis Ulama Indonesia dikatakan sebagai kelompok sesat. Itu adalah klaim kebenaran yang hanya ada pada mereka. La islama illa bil jama’ah. Kata-kata jama’ah itu hanya untuk Darul Hadits, Islam Jama’ah. Kan begitu awalnya. Mestinya tidak begitu. Jadi, Islam Jama’ah adalah Al jama’ah min jamaatul muslimin. Jadi, satu jama’ah dari jama’ah-jama’ahnya umat Islam. Umat Islam itu banyak jama’ahnya. Tidak satu-satunya. Nah, disini yang menjadi krusial itu.

Bai’at itu, kalau kita kembali kepada sejarah sirah nabawiyah itu, kan ada bai’at aqobah, ada bai’atur ridwan. Nah, itu berbeda. Bai’at yang pertama itu, bai’at untuk menyatakan lailaha illallah muhammadurrasulullah, dan dia siap. Di Aqobah itu, orang Aus dan Hujrat yang datang menghadap Nabi itu, siap menerima kehadiran Nabi di Madinah, melindungi Nabi di Madinah, dan siap mengikuti ajaran Nabi Muhammad. itu bai’at aqobah. Kemudian bai’atur ridwan itu adalah umat Islam yang siap untuk menghadapi apapun yang terjadi. Ketika umat Islam mendapatkan berita bahwa utusan Nabi yang ke Mekkah itu di tahan oleh Quraisy, Utsman diutus untuk negosiasi dengan orang Quraisy. Waktu itu, Nabi tidak berkehendak perang, tapi ingin melakukan ibadah haji. Tapi akhirnya ditolak. Kemudian ada perjanjian. Kemudian Nabi kembali ke Madinah. Baru kemudian 2tahun berikutnya, Nabi pergi ke Mekkah. Nah, itu bai’at, dan ada bai’at lagi yaitu bai’at kepemimpinan ketika khalifah Umar membai’at Abu Bakar sebagai khalifah. Bai’at itu sebetulnya, ya kalau bahasa sekarang, bai’at kepada khalifah atau bai’at kepada khulafaur rosyidin. Ya, demokrasi itu dimana pemilih menyatakan aku setuju dengan anda. Nah, bai’at yang di LDII atau yang sejenis itu, hakikatnya adalah sama dengan bai’at kepada pemimpin. Pemimpinnya sebagai imam yang secara spesifik itu sama dengan bai’at orang-orang thariqot. Orang-orang thariqot juga bai’atnya untuk sami’na waatho’na terhadap guru atau mursyidnya. Nah kalau orang-orang Jama’ah ini sami’na waatho’na terhadap imamnya, itu sama dengan tidak masalah. Masih tetap dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syari’at. Nah, yang bertentangan adalah tidak ada imam yang lain kecuali imamku, dan membai’at imam yang bukan imamku, batal. Itu kafir. Itu yang keliru. Siapapun yang berpandangan eksklusif semacam itu, keliru. Dan itu ciri dari jama’ah-jama’ah yang eksklusif seperti itu.

Ajaran manqul itu, sebetulnya ada dalam tradisi ulama-ulama nusantara, meskipun tidak dikatakan manqul. Itu kan ada istilah ijazah. Seorang ulama misalnya, saya pernah ngaji kepada guru saya untuk baca kitab ihya’. Setelah tamat baca ihya’, itu guru saya (kyai saya itu) memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang mengikuti pengajian itu, termasuk saya, untuk sahnya membaca ihya’. Nah, saya bisa membaca ihya’, kayak begini itu dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan kemampuannya itu dari gurunya. Itulah yang namanya silsilah. Manqul, kalau dipahami sebagai silsilah, kayak begitu. Biasa, wajar. Persoalannya, manqul itu adalah hadits yang diajarkan oleh gurunya. Itu sajalah yang benar. Tidak ada hadits yang benar kecuali yang diajarkan oleh gurunya. Padahal, jumlah hadits itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana dia bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah untuk meriwayatkan hadits ini. Kan lagi-lagi eksklusif. Di situ letak kekeliruannya. Manqul pada umumnya tidak ada masalah, karena dia tidak beranggapan bahwa hanya dengan jalan inilah orang bisa masuk syurga. Kecuali, kalau tidak mengikuti jalan ini, orang masuk neraka, di situ kemudian terjadi doktrin yang menyesatkan, karena jalan untuk menuju kebenaran itu banyak. hadits itu banyak. Kitab itu banyak pendapat. Nah, ini yang mereka itu tidak ada ketika masih dalam gerakan Islam Jama’ah.

Nah, ketika sudah menjadi LDII, saya sudah mendengar, saya sudah membaca Keputusan Rakernas LDII tahun 2007 bahwa memang LDII sudah mengubah paradigma lama dengan paradigma baru, termasuk ajaran tentang Islam Jama’ah, ajaran Manqul, ajaran tentang Imamah, Keamiran dan lain sebagainya sudah dihilangkan. Mereka sudah mengikuti sawadul a’dhom. Itu tertulis. Nah, sekarang apa iya seperti itu, tanyakan kepada orang-orang LDII. Sepengetahuan saya, pernah suatu ketika saya shalat jum’at di Masjid LDII di daerah Dago (Bandung). Sampai orang-orang sebagian bubar, saya masih shalat di situ. Kemudian saya pergi. Saya tinggalkan Masjid itu, tetapi saya pergi ke rumah seorang teman yang berdekatan dengan masjid itu. Saya yakin mereka tidak tahu, kalau saya mampir di depan Masjid itu. Nah di rumah teman itu, saya perhatikan dari rumah jendela kaca, saya perhatikan betul bahwa tidak ada seorangpun yang mencuci tempat di mana saya duduk dan saya sujud di Masjid itu. Karena anggapan bahwa kalau saya bukan anggota LDII adalah najis atau orang bukan Islam, ternyata tidak ada sampai akhirnya datang waktu shalat Ashar. Ketika shalat Ashar, saya datang lagi ke tempat itu. Kemudian saya memperkenalkan diri. Saya salaman kepada mereka. Lalu terjadilah dialog. Dia tanya, ”Bapak dari mana?” Saya dari Departemen Agama, lagi ada Rapat Kerja di Badung. Kebetulan saya ada keperluan ketemu dengan teman yang rumahnya dekat sini. Lalu saya shalat disini. ”Saya mau tahu apakah sudah ada perubahan di kalangan teman-teman di LDII apa nggak?,” Katanya, kalau ada orang shalat di LDII, dicuci. Ketika saya lihat sendiri, kok tidak dicuci bekas tempat saya tadi. Nah itu gimana? Kata mereka, ”Itulah pak, fitnah yang terjadi, dimana saya mencuci bekasnya orang shalat, nggak ada, itu fitnah.” Apakah dulu memang pernah terjadi seperti itu, atau itu memang sudah terjadi perubahan? ”Saya orang LDII yang berhak untuk menjawab.” Pengalaman saya yang seperti itu tidak sekali saja. Pada waktu lebaran kemarin, saya juga shalat di Masjid Pantura yang di situ ada spanduknya yang bertuliskan ”Mengucapkan selamat Idul Fitri.” Pada kanan kiri spanduk tersebut, ada simbol Majelis Ulama Indonesia dan simbol LDII. Boleh saya katakan bahwa Masjid yang saya pakai adalah masjidnya LDII. Ternyata di situ, yang menjadi Imam Maghrib --waktu itu masih dalam bulan Ramadhan-- itu bukan orang LDII. Dan orang-orang LDII yang tinggal di sekitar masjid juga ikut berjama’ah di situ. Masjid di situ tempat lalu lalang (banyak orang), dan tidak ada cuci-mencuci itu. Itulah pengalaman saya terhadap LDII.

Tentang model-model pentakfiran, gejala sebenarnya tidak hanya pada LDII. Tapi banyak gerakan yang sekarang ini, cenderung eksklusif dengan menganggap bahwa orang yang bukan pada kelompoknya itu sebagai orang kafir. Misalnya gerakan NII, yang beranggapan seperti itu. Jadi, orang yang tidak masuk dan tidak mengakui imamah dari NII itu, dianggap kafir, sehingga hartanya halal diambil. Itu kasusnya sangat banyak di Jakarta. Jadi itu tidak mutlak LDII. Lagi-lagi disini letak kekeliruannya adalah anggapan bahwa tafsir dia yang paling benar, sedangkan tafsir orang lain salah. Mereka ”mempertuhankan” pendapatnya sendiri, tidak ”mempertuhankan” yang harusnya dipertuhankan, yaitu Allah. Allah sendiri memberi kebebasan melalui Rasulullah, “Manistahada faashoba falahu ajroni,” barangsiapa yang berijtihad dan benar, maka dia akan dapat dua pahala. Dan barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala. Dengan demikian, hadits ini memberikan toleransi yang amat tinggi terhadap pendapat. Kenapa dia mengklaim bahwa pendapatnya sendiri yang benar, sedangkan pendapat orang lain salah, dan salah itu kafir. Celakanya lagi, kalau yang namanya kafir itu, resikonya berat yaitu boleh diperangi, boleh dibunuh, boleh diambil hartanya. La ini celaka.

Mengapa ajaran poligami di LDII itu dianggap ajaran yang khas, padahal sebetulnya itu adalah ajaran Islam yang umum dimana ahlus sunah wal jama’ah menerima adanya ajaran tentang adanya ketentuan mengenai poligami. Meskipun persyaratan untuk poligami itu sangat berat, Alqur’an sendiri mengatakan boleh, ”Fankikhu maa thooba lakum minan nisai matsnaa watsulaasa, wa rubaa’a fainkhiftum alla ta’diluu fawaakhidatan aumaa malakat aimaanukum.” (QS an-Nisai: 3). Jadi, kalau tidak bisa berbuat adil, hukum berpoligami itu dosa. Kalau adil boleh-boleh saja, tetapi berat untuk berbuat adil. Oleh karena itu, pada dasarnya prinsip perkawinan dalam Islam itu adalah monogami. Poligami itu kepepet. LDII didakwa melegalisir poligami. Bahkan menganjurkan poligami. Itu sama dakwaannya orang-orang terhadap Islam. Padahal, tidak semua orang LDII berpoligami. Jadi, kalau semua orang berbuat poligami, baru benar pernyataan itu. Kalau yang berpoligami hanya kepala-kepalanya, hanya ketua-ketuanya, kan sama juga dimana kyai-kyai juga banyak poligami.

Terlepas persoalan LDII yang punya sejarah panjang seperti itu, persoalan utama di kalangan umat ini adalah mengapa terdapat penyimpangan-penyimpangan dari standar-standar yang sudah dibakukan atau paling nggak yang sudah dianggap baku. Sehingga ada kecenderungan berkembangnya aliran sesat. Itu justru pertanyaan buat para ulama, para kyai, para ustadz. Pertanyaannya apa? Apakah kepada mereka sudah sampai dakwah yang benar, ajakan yang benar, pengetahuan agama yang benar. Tugas siapa menyampaikan dakwah atau pembelajaran pengetahuan yang benar kepada umat? ya tugas ulama, tugas kyai! Nah. apakah kalau tugas-tugas kyai sudah dilaksanakan, tidak ada yang menyimpang. Ya ada. Tetap saja yang menyimpang itu ada. Tetapi paling tidak, orang yang menyimpang dengan kesadaran dengan penyimpangan karena ketidak-tahuan, kan berbeda. <50%>


Web blog ini mengandung setengah (50%) dari Catatan Para Ulama. Untuk memperoleh Catatan Para Ulama versi lengkap dalam bentuk buku, silahkan kunjungi situs www.madaniinstitute.org

:)