Selasa, 02 September 2008

LDII Sekarang Ibarat Teori Gelombang

DR. M. Syafi’i Mufid, MA.

( Peneliti, Departemen Agama - Republik Indonesia )

LDII yang saya ketahui itu kan sebuah organisasi Islam. Yang awalnya dari LEMKARI kemudian menjadi LDII. Nah, sebelumnya ada yang namanya Islam Jama’ah. Sebelum Islam Jama’ah, ada yang namanya Darul Hadits. Jadi, itu proses dimulainya sebuah tafsir terhadap ajaran-ajaran Islam tentang imamah (tentang jama’ah) kemudian implementasinya dalam bentuk gerakan, yang namanya gerakan Islam Jama’ah atau Darul Hadits.

Sebetulnya, ajaran inti dari yang kita kenal Islam Jama’ah itu adalah mengenai kejama’ahan dan keimamahan. Apa yang dipahami dari kawan-kawan Islam Jama’ah itu adalah atsar-nya dari Sayidina Umar yaitu la islama illa bil jama’ah walajamaata illa bil imamah wala imamata illa bithoah wala thoata illa bil bai’at. Kemudian mamata laisa lahu biatun mata mitatan jahiliyatan, haditsnya maupun atsarnya itu, lazim di kalangan umat Islam. Tidak merupakan sesuatu yang aneh, artinya masyhur (umum, dikenal). Yang menjadi aneh pada waktu itu adalah, kalau orang tidak masuk jama’ah, mereka itu dianggap bukan Islam. Itu masalahnya. Nah, ini kekeliruan penafsiran yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok. Kemudian oleh Majelis Ulama Indonesia dikatakan sebagai kelompok sesat. Itu adalah klaim kebenaran yang hanya ada pada mereka. La islama illa bil jama’ah. Kata-kata jama’ah itu hanya untuk Darul Hadits, Islam Jama’ah. Kan begitu awalnya. Mestinya tidak begitu. Jadi, Islam Jama’ah adalah Al jama’ah min jamaatul muslimin. Jadi, satu jama’ah dari jama’ah-jama’ahnya umat Islam. Umat Islam itu banyak jama’ahnya. Tidak satu-satunya. Nah, disini yang menjadi krusial itu.

Bai’at itu, kalau kita kembali kepada sejarah sirah nabawiyah itu, kan ada bai’at aqobah, ada bai’atur ridwan. Nah, itu berbeda. Bai’at yang pertama itu, bai’at untuk menyatakan lailaha illallah muhammadurrasulullah, dan dia siap. Di Aqobah itu, orang Aus dan Hujrat yang datang menghadap Nabi itu, siap menerima kehadiran Nabi di Madinah, melindungi Nabi di Madinah, dan siap mengikuti ajaran Nabi Muhammad. itu bai’at aqobah. Kemudian bai’atur ridwan itu adalah umat Islam yang siap untuk menghadapi apapun yang terjadi. Ketika umat Islam mendapatkan berita bahwa utusan Nabi yang ke Mekkah itu di tahan oleh Quraisy, Utsman diutus untuk negosiasi dengan orang Quraisy. Waktu itu, Nabi tidak berkehendak perang, tapi ingin melakukan ibadah haji. Tapi akhirnya ditolak. Kemudian ada perjanjian. Kemudian Nabi kembali ke Madinah. Baru kemudian 2tahun berikutnya, Nabi pergi ke Mekkah. Nah, itu bai’at, dan ada bai’at lagi yaitu bai’at kepemimpinan ketika khalifah Umar membai’at Abu Bakar sebagai khalifah. Bai’at itu sebetulnya, ya kalau bahasa sekarang, bai’at kepada khalifah atau bai’at kepada khulafaur rosyidin. Ya, demokrasi itu dimana pemilih menyatakan aku setuju dengan anda. Nah, bai’at yang di LDII atau yang sejenis itu, hakikatnya adalah sama dengan bai’at kepada pemimpin. Pemimpinnya sebagai imam yang secara spesifik itu sama dengan bai’at orang-orang thariqot. Orang-orang thariqot juga bai’atnya untuk sami’na waatho’na terhadap guru atau mursyidnya. Nah kalau orang-orang Jama’ah ini sami’na waatho’na terhadap imamnya, itu sama dengan tidak masalah. Masih tetap dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syari’at. Nah, yang bertentangan adalah tidak ada imam yang lain kecuali imamku, dan membai’at imam yang bukan imamku, batal. Itu kafir. Itu yang keliru. Siapapun yang berpandangan eksklusif semacam itu, keliru. Dan itu ciri dari jama’ah-jama’ah yang eksklusif seperti itu.

Ajaran manqul itu, sebetulnya ada dalam tradisi ulama-ulama nusantara, meskipun tidak dikatakan manqul. Itu kan ada istilah ijazah. Seorang ulama misalnya, saya pernah ngaji kepada guru saya untuk baca kitab ihya’. Setelah tamat baca ihya’, itu guru saya (kyai saya itu) memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang mengikuti pengajian itu, termasuk saya, untuk sahnya membaca ihya’. Nah, saya bisa membaca ihya’, kayak begini itu dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan kemampuannya itu dari gurunya. Itulah yang namanya silsilah. Manqul, kalau dipahami sebagai silsilah, kayak begitu. Biasa, wajar. Persoalannya, manqul itu adalah hadits yang diajarkan oleh gurunya. Itu sajalah yang benar. Tidak ada hadits yang benar kecuali yang diajarkan oleh gurunya. Padahal, jumlah hadits itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana dia bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah untuk meriwayatkan hadits ini. Kan lagi-lagi eksklusif. Di situ letak kekeliruannya. Manqul pada umumnya tidak ada masalah, karena dia tidak beranggapan bahwa hanya dengan jalan inilah orang bisa masuk syurga. Kecuali, kalau tidak mengikuti jalan ini, orang masuk neraka, di situ kemudian terjadi doktrin yang menyesatkan, karena jalan untuk menuju kebenaran itu banyak. hadits itu banyak. Kitab itu banyak pendapat. Nah, ini yang mereka itu tidak ada ketika masih dalam gerakan Islam Jama’ah.

Nah, ketika sudah menjadi LDII, saya sudah mendengar, saya sudah membaca Keputusan Rakernas LDII tahun 2007 bahwa memang LDII sudah mengubah paradigma lama dengan paradigma baru, termasuk ajaran tentang Islam Jama’ah, ajaran Manqul, ajaran tentang Imamah, Keamiran dan lain sebagainya sudah dihilangkan. Mereka sudah mengikuti sawadul a’dhom. Itu tertulis. Nah, sekarang apa iya seperti itu, tanyakan kepada orang-orang LDII. Sepengetahuan saya, pernah suatu ketika saya shalat jum’at di Masjid LDII di daerah Dago (Bandung). Sampai orang-orang sebagian bubar, saya masih shalat di situ. Kemudian saya pergi. Saya tinggalkan Masjid itu, tetapi saya pergi ke rumah seorang teman yang berdekatan dengan masjid itu. Saya yakin mereka tidak tahu, kalau saya mampir di depan Masjid itu. Nah di rumah teman itu, saya perhatikan dari rumah jendela kaca, saya perhatikan betul bahwa tidak ada seorangpun yang mencuci tempat di mana saya duduk dan saya sujud di Masjid itu. Karena anggapan bahwa kalau saya bukan anggota LDII adalah najis atau orang bukan Islam, ternyata tidak ada sampai akhirnya datang waktu shalat Ashar. Ketika shalat Ashar, saya datang lagi ke tempat itu. Kemudian saya memperkenalkan diri. Saya salaman kepada mereka. Lalu terjadilah dialog. Dia tanya, ”Bapak dari mana?” Saya dari Departemen Agama, lagi ada Rapat Kerja di Badung. Kebetulan saya ada keperluan ketemu dengan teman yang rumahnya dekat sini. Lalu saya shalat disini. ”Saya mau tahu apakah sudah ada perubahan di kalangan teman-teman di LDII apa nggak?,” Katanya, kalau ada orang shalat di LDII, dicuci. Ketika saya lihat sendiri, kok tidak dicuci bekas tempat saya tadi. Nah itu gimana? Kata mereka, ”Itulah pak, fitnah yang terjadi, dimana saya mencuci bekasnya orang shalat, nggak ada, itu fitnah.” Apakah dulu memang pernah terjadi seperti itu, atau itu memang sudah terjadi perubahan? ”Saya orang LDII yang berhak untuk menjawab.” Pengalaman saya yang seperti itu tidak sekali saja. Pada waktu lebaran kemarin, saya juga shalat di Masjid Pantura yang di situ ada spanduknya yang bertuliskan ”Mengucapkan selamat Idul Fitri.” Pada kanan kiri spanduk tersebut, ada simbol Majelis Ulama Indonesia dan simbol LDII. Boleh saya katakan bahwa Masjid yang saya pakai adalah masjidnya LDII. Ternyata di situ, yang menjadi Imam Maghrib --waktu itu masih dalam bulan Ramadhan-- itu bukan orang LDII. Dan orang-orang LDII yang tinggal di sekitar masjid juga ikut berjama’ah di situ. Masjid di situ tempat lalu lalang (banyak orang), dan tidak ada cuci-mencuci itu. Itulah pengalaman saya terhadap LDII.

Tentang model-model pentakfiran, gejala sebenarnya tidak hanya pada LDII. Tapi banyak gerakan yang sekarang ini, cenderung eksklusif dengan menganggap bahwa orang yang bukan pada kelompoknya itu sebagai orang kafir. Misalnya gerakan NII, yang beranggapan seperti itu. Jadi, orang yang tidak masuk dan tidak mengakui imamah dari NII itu, dianggap kafir, sehingga hartanya halal diambil. Itu kasusnya sangat banyak di Jakarta. Jadi itu tidak mutlak LDII. Lagi-lagi disini letak kekeliruannya adalah anggapan bahwa tafsir dia yang paling benar, sedangkan tafsir orang lain salah. Mereka ”mempertuhankan” pendapatnya sendiri, tidak ”mempertuhankan” yang harusnya dipertuhankan, yaitu Allah. Allah sendiri memberi kebebasan melalui Rasulullah, “Manistahada faashoba falahu ajroni,” barangsiapa yang berijtihad dan benar, maka dia akan dapat dua pahala. Dan barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala. Dengan demikian, hadits ini memberikan toleransi yang amat tinggi terhadap pendapat. Kenapa dia mengklaim bahwa pendapatnya sendiri yang benar, sedangkan pendapat orang lain salah, dan salah itu kafir. Celakanya lagi, kalau yang namanya kafir itu, resikonya berat yaitu boleh diperangi, boleh dibunuh, boleh diambil hartanya. La ini celaka.

Mengapa ajaran poligami di LDII itu dianggap ajaran yang khas, padahal sebetulnya itu adalah ajaran Islam yang umum dimana ahlus sunah wal jama’ah menerima adanya ajaran tentang adanya ketentuan mengenai poligami. Meskipun persyaratan untuk poligami itu sangat berat, Alqur’an sendiri mengatakan boleh, ”Fankikhu maa thooba lakum minan nisai matsnaa watsulaasa, wa rubaa’a fainkhiftum alla ta’diluu fawaakhidatan aumaa malakat aimaanukum.” (QS an-Nisai: 3). Jadi, kalau tidak bisa berbuat adil, hukum berpoligami itu dosa. Kalau adil boleh-boleh saja, tetapi berat untuk berbuat adil. Oleh karena itu, pada dasarnya prinsip perkawinan dalam Islam itu adalah monogami. Poligami itu kepepet. LDII didakwa melegalisir poligami. Bahkan menganjurkan poligami. Itu sama dakwaannya orang-orang terhadap Islam. Padahal, tidak semua orang LDII berpoligami. Jadi, kalau semua orang berbuat poligami, baru benar pernyataan itu. Kalau yang berpoligami hanya kepala-kepalanya, hanya ketua-ketuanya, kan sama juga dimana kyai-kyai juga banyak poligami.

Terlepas persoalan LDII yang punya sejarah panjang seperti itu, persoalan utama di kalangan umat ini adalah mengapa terdapat penyimpangan-penyimpangan dari standar-standar yang sudah dibakukan atau paling nggak yang sudah dianggap baku. Sehingga ada kecenderungan berkembangnya aliran sesat. Itu justru pertanyaan buat para ulama, para kyai, para ustadz. Pertanyaannya apa? Apakah kepada mereka sudah sampai dakwah yang benar, ajakan yang benar, pengetahuan agama yang benar. Tugas siapa menyampaikan dakwah atau pembelajaran pengetahuan yang benar kepada umat? ya tugas ulama, tugas kyai! Nah. apakah kalau tugas-tugas kyai sudah dilaksanakan, tidak ada yang menyimpang. Ya ada. Tetap saja yang menyimpang itu ada. Tetapi paling tidak, orang yang menyimpang dengan kesadaran dengan penyimpangan karena ketidak-tahuan, kan berbeda. <50%>


Web blog ini mengandung setengah (50%) dari Catatan Para Ulama. Untuk memperoleh Catatan Para Ulama versi lengkap dalam bentuk buku, silahkan kunjungi situs www.madaniinstitute.org

:)

Tidak ada komentar: